jpnn.com, JAKARTA - Program penguatan pendidikan karakter (PPK) yang dicanangkan Presiden Joko Widodo sebenarnya bukan hal baru.
Di akhir era Presiden Susilo Bambang Yodhoyono, melalui Kurikulum 2013 (K-13), pembelajaran juga menekankan karakter.
BACA JUGA: Partai Demokrat Pengin Menang Banyak di Pilkada 2018
Meskipun sudah berjalan empat tahunan, pembelajaran berbasis karakter di K-13 tidak mudah dijalankan.
Ketika K-13 diterapkan, ada sejumlah aspek yang dikeluhkan guru. Diantaranya adalah keharusan guru semua mata pelajaran menyisipkan kompetensi keagamaan dan norma lainnya, banyak guru mengeluh kesulitan.
BACA JUGA: SBY Beberkan 5 Masalah Era Jokowi-JK
Kemudian pengisian rapor yang menggunakan sistem deskripsi esay, supaya bisa menggambarkan karakter anak, juga sempat dikeluhkan.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengapresaisi terbitnya Perpres 87/2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).
BACA JUGA: Komisioner KPAI: Membentuk Karakter Tak Cukup dengan Perpres
Mantan Sekjen Federasi Guru Seluruh Indonesia (FSGI) itu mengatakan penguatan pendidikan karakter tidak akan otomatis mudah dijalankan di lapangan.
’’Guru sebagai ujung tombak penguatan pendidikan karakter perlu panduan teknis dan sejelas-jelasnya,’’ katanya seperti diberitakan Jawa Pos.
Mantan Kepala SMAN 3 Jakarta itu menuturkan ada sejumlah persoalan yang harus diantisipasi dalam pelaksanakan pendidikan karakter di era Presiden Joko Widodo.
Diantaranya adalah pendidikan karakter di sekolah itu tidak bisa diteorikan atau didiktekan kepada siswa. Karakter harus dibangun melauli seluruh proses pembelajaran di sekolah.
’’Harus dibangung school culture. Mulai dari kepsek, guru, siswa, orangtua, bahkan masyarakat sekitar sekolah,’’ jelasnya.
Kemudian pendidikan karakter itu bukan dimulai dari siswanya. Jadi siswa itu bukan objek pertama yang dididik supaya berkarakter.
Tetapi guru dan orangtua yang harus dibangun karakternya lebih dahulu. Sebab menurutnya, 70 persen perilaku anak-anak itu hasil meniru orang dewasa.
Sebagus apapun metode pendidikan karakter, jika gurunya tidak meberikan contoh yang baik, percuma. ’’Di era pendidikan karakter ini, anak butuh teladan,’’ jelasnya.
Dia mencontohkan jika kepala sekolah menunjukkan sikap transparan, maka siswa yang jadi pengurus OSIS juga bakal mencontohnya.
Dia juga menuturkan pendidikan karakter itu berbeda dengan menjelaskan rumus matematika. Retno mengatakan pendidikan karakter anak itu melalui pembiasaan.
Misalnya pembiasaan membuang sampah pada tempatnya. Perilaku ini harus konsisten diajarkan ke siswa tidak hanya di sekolah. Tetapi di rumah dan lingkungan masyarakat. Sehingga bisa terbentuk anak dengan karakter menjaga kebersihan.
Retno menjelaskan supaya program penguatan pendidikan karakter berhasil dijalankan oleh sekolah, pemerintah harus konsentrasi pada pelatihan guru.
Melalui pelatihan itu, guru bisa memiliki visi pendidikan karakter yang sama dengan arahan Presiden. Sehingga bisa terjadi harmoni impelementasi pendidikan karakter mulai dari istana negara sampai di sekolah.
Di tengah kegiatannya di Kuningan, Jawa Barat, Mendikbud Muhadjir Effendy menjelaskan menyiapkan pedoman dan petunjuk pelaksanaan pendidikan karakter.
Saat ini masih dalam proses pembahasan antara Kemendikbud, Kemenkumham, dan Setneg. ’’Mudah-mudahan bisa secepatnya keluar,’’ tutur dia.
Muhadjir mengakui bahwa Perpres itu sifatnya teoritis. Sehingga butuh panduan teknis supaya para guru bisa menjalankan dengan mudah di sekolah.
Dia menegaskan munculnya program penguatan pendidikan karakter ini tidak memiliki konsekuensi anggaran baru.
Sebab anggarannya menempel pada setiap program yang sudah ada. Seperti program pelatihan guru dan sejenisnya. (wan/tau)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Perpres Terbit, Muhadjir Tegaskan Sekolah Wajib Terapkan PPK
Redaktur & Reporter : Soetomo