jpnn.com - Oleh: FEBA SUKMANA, kontributor JAWA POS (Induk JPNN) yang merupakan penulis dan pengajar bahasa Indonesia di Volksuniversiteit Rotterdam
Matahari pukul 10.00 menyambut saya di depan Stasiun Leiden Centraal. Kabut masih menggantung, tetapi alun-alun stasiun sudah ramai dengan lalu-lalang mahasiswa. Entah sudah berapa kali saya menginjakkan kaki di sini, namun hari ini tujuan saya istimewa: mengunjungi Kartini.
BACA JUGA: Ketika Kartini Berdiri Ada Kunci Jatuh, Oh Ternyata
---
Leiden. Kota kecil di Provinsi Holland Selatan ini terkenal sebagai pusat ilmu budaya dan sejarah. Memasuki kota ini, saya disambut Museum Volkenkunde yang memamerkan beragam koleksi kebudayaan dunia.
BACA JUGA: Catatan Penting Koalisi Perempuan Indonesia Tentang Pemilu 2019 dan Hari Kartini
Di seberangnya, kincir angin De Valk berdiri tegak di samping kanal Rijnsburgersingel. Kincir angin yang dulu berfungsi sebagai tempat pengolahan gandum itu sekarang menjadi museum yang terbuka untuk umum.
Lima tahun sudah saya meninggalkan kota ini. Namun, tiap kali menapaki Leiden, saya seolah pulang ke rumah yang selalu saya rindukan; bangunan-bangunan tua nan klasik, kanal-kanal cantik yang kadang dipenuhi kapal-kapal kecil, burung-burung camar yang berkerumun di alun-alun kota, dan setapak-setapak sempit yang memikat.
Leiden memang istimewa, juga bagi Indonesia. Kota ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah ibu pertiwi. Sejumlah tokoh besar Indonesia, seperti Achmad Soebardjo (Menlu Pertama Indonesia) dan Hoessein Djajadiningrat (doktor dan guru besar pribumi pertama), adalah lulusan Universiteit Leiden.
Universiteit Leiden merupakan universitas tertua di Belanda (didirikan pada 1575). Di kota itu pula organisasi Persatuan Pelajar Indonesia kali pertama dimulai, pergerakan yang berpengaruh besar dalam perjuangan politik Indonesia dalam merebut kemerdekaan.
Saya melangkah menuju perpustakaan Universiteit Leiden. Di perpustakaan tersebut, surat-surat asli tulisan tangan Kartini tersimpan.
Ketika saya sampai, Mr Lam Ngo dari KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde) menjemput di lobi dan mengajak saya ke bagian special collections.
Mr Ngo lalu mengambil dus yang berisi ratusan surat Kartini. Semua ditandai dengan cermat, disusun berdasar tanggal pengiriman. "Koleksi ini adalah pemberian J.H. Abendanon pada 1986," jelas Mr Ngo. "Hampir semua surat di koleksi ini ditujukan kepada J.H. Abendanon atau istrinya, Rosa Abendanon," lanjutnya.
Saya mencermati daftar arsip yang diberikan Mr Ngo. Dus itu tidak hanya berisi surat-surat Kartini, namun juga surat-surat dari dua adik Kartini - Roekmini dan Kardinah- kepada keluarga Abendanon.
Selain itu, terdapat kartu nama Kartini dan adik-adiknya (saya takjub, pada 1900 Kartini sudah punya kartu nama, bagus pula!) serta kliping artikel-artikel mengenai Kartini yang dimuat di media massa Belanda.
Sebagian besar surat-surat tersebut tidak diterbitkan dalam buku Door Duisternis Tot Licht atau Habis Gelap Terbitlah Terang. Itu membuat saya penasaran ingin membaca suratnya satu per satu. "Kalau mau membaca secara detail, lebih baik baca dari microfiche saja," saran Mr Ngo sembari memperlihatkan microfiche, lembaran plastik solid mirip klise film.
Sejak September 2012, manuskrip asli Kartini memang tidak boleh lagi diakses oleh umum. Sebab, semuanya sudah ditransfer dalam bentuk microfiche. Saya termasuk orang paling beruntung karena Mr Ngo memberi saya izin khusus untuk melihat dan memotret surat-surat asli tersebut.
Berada di tengah-tengah tulisan tangan Kartini merupakan pengalaman mengesankan. Sesungguhnya saya bukan pengagum fanatik Kartini. Membaca Habis Gelap Terbitlah Terang saja belum pernah. Namun, saat membaca surat-suratnya, saya jatuh hati pada kefasihan Kartini menggoreskan pena.
Dalam bahasa Belanda yang nyaris sempurna, Kartini dengan lugas, puitis (dan kerap penuh emosi) mengisahkan hidup dan menjabarkan pemikirannya. "Vraag mij niet of ik wil, vraag mij of ik màg! - Jangan tanya apa yang saya mau, tanya apa yang boleh!" tulis Kartini, marah campur putus asa, ketika menceritakan keinginannya untuk melanjutkan sekolah.
Saya bisa membayangkan betapa geramnya Kartini saat itu; tidak diperbolehkan bersekolah hanya karena dia perempuan! (*/c7/jan)
Redaktur : Tim Redaksi