Di Tasik, 7.894 Pria Doyan "Jajan"

Selasa, 10 September 2013 – 07:35 WIB

jpnn.com - TASIK – Pria nakal yang suka menyewa pekerja seks komersil (PSK) di Kota Tasikmalaya jumlahnya mencapai ribuan. Mereka mencari kepuasan di luar rumah. Data Kementerian Kesehatan RI empat tahun lalu saja mencatat penikmat kupu-kupu malam (sebutan PSK) di Kota Resik ini mencapai 7.894 pria.   

Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Kota Tasikmalaya Aang Munawar SPdI mengatakan laki-laki pembeli PSK juga penular HIV/AIDS.

BACA JUGA: Produsen Tahu Tempe Mogok Tiga Hari

“Secara matematis laki-laki pembeli seks menempati peringkat teratas sebagai kelompok yang paling berpengaruh terhadap penularan HIV yang dialami ibu rumah tangga dan anak,” ungkap Aang Munawar kepada Radar Tasikmalaya (Grup JPNN) kemarin.

Transaksi seks pun tidak hanya berpotensi menularkan HIV dan infeksi menular lainnya, lebih jauh, pembelian seks menciptakan pasar eksploitasi seksual dan perdagangan manusia. Perempuan, yang hidup dibawah garis kemiskinan, terpaksa menceburkan diri ke dunia prostitusi.

BACA JUGA: Enam Bandara di Sumut Kecipratan APBN 2014

“Atau terjebak pelacuran dengan janji pekerjaan sah, namun kenyataannya dijual seperti ternak, dipenjara atau mengalami pelecehan seksual,” tutur aktivis penanggulangan HIV/ AIDS ini.

Secara umum, kondisi ini, kata dia, membuat perempuan menghadapi tantangan yang lebih berat meraih kesetaraan dengan laki-laki. Apalagi di dunia patriarkis. “Seperti multi diskriminasi, kekerasan sosial, ekonomi dan seksual,” kata Aang.

BACA JUGA: Dirut RSUD Kecewa Rekrutmen CPNS Tak Ada Jatah Perawat

Sejarahnya, pelacuran selalu dimulai dengan adanya sisi permintaan (demand side). Kemudian baru sisi pasokan (supply side) dalam hal ini dilakukan mucikari.

Para mucikari atau germo berusaha memenuhi permintaan tersebut. Sementara pelacur adalah objek yang dijualbelikan. “Di sinilah letak kontradiksi dari semua aturan-aturan yang berlaku sejak zaman kolonial hingga kini,” cetusnya.

Dari sisi aturan, terangnya, sanksi pidana dan denda ditututkan kepada objek atau “barang” yang dijualbelikan yaitu si pelacur, ketimbang memberikan sanksi kepada si pembeli maupun mucikari --yang memperoleh keuntungan dari prostitusi tersebut.

“Pelacur selalu menjadi korban dari diberlakukannya sebuah aturan yang melarang kegiatan prostitusi. Sementara pembeli dan mucikarinya justru tidak dianggap sebagai pelanggar hukum, apalagi dianggap sebagai pelanggar norma sosial,” tandasnya.

Ketua Harian Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Kota Tasikmalaya dr Rustam menambahkan saat ini penyebaran HIV merambah kalangan ibu rumah tangga. Mereka tertular dari suami yang doyan “jajan.”

Kemudian si ibu menularkannya kepada anak yang dilahirkan. “Kelompok beresiko utama itu tetap remaja usia 17 tahun sampai 25 tahun. Hanya memang lima tahun terakhir ini, penyebarannya (HIV/AIDS) sudah masuk ke kalangan ibu rumah tangga sebagai kelompok berisiko kedua,” singkatnya.  (pee/gna)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Terima Gaji ke-13, Honorer Diminta Bersyukur


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler