jpnn.com - Implementasi hukum di Indonesia dicap buruk karena aroma suap dan penegakannya tebang pilih. Namun, tidak demikian tim mahasiswa hukum UI yang mengukir prestasi di kompetisi arbitrase semu (simulasi) tingkat internasional.
M. HILMI SETIAWAN - Jakarta
BACA JUGA: Pesuruh yang Disulap Menjadi Direktur Perusahaan
HUJAN deras yang mengguyur ibu kota Jumat (2/5) tidak menyurutkan niat Jeremiah Purba untuk berkunjung ke kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Pria yang menjadi ketua tim UI di lomba hukum arbitrase itu meluncur dari kampus UI di Depok dengan menggunakan kereta rel listrik.
Setiba di kompleks Kemendikbud, mahasiswa Fakultas Hukum (FH) UI angkatan 2010 tersebut menceritakan sepak terjang timnya di lomba paling bergengsi di kalangan mahasiswa hukum itu. Dia mengungkapkan, tim yang dipimpinnya terdiri atas Artika Nuswaningrum (mahasiswi angkatan 2013), Asri Rahimi (2011), Kezia Minar Paladina (2012), dan Putri Meisita Kusuma (2010). Sedangkan pelatih mereka adalah Prasetyo Pratama Sukirno.
BACA JUGA: Masuk di Balai Lelang Masterpiece Singapura, Lukisan Dihargai Rp 191 Juta
Keikutsertaan mereka di kontes hukum arbitrase dunia tersebut dimulai dari ”ajang pencarian bakat” di kalangan mahasiswa FH UI. ”Ketika itu masa seleksi sekitar Agustus dan yang diseleksi sekitar 30 orang. Tim ini terbentuk September,” kata remaja kelahiran Goettingen, Jerman, 26 Mei 1990, itu.
Setelah tim terbentuk, latihan pun mulai digeber. Latihan tersebut sedikitnya berjalan sekitar enam bulan. Selama itu, waktu mereka tersedot habis untuk persiapan perlombaan yang bakal digelar di Wina, Austria, tersebut. Persiapan itu menyedot tenaga ekstra karena mereka akan bersaing dengan 291 kampus dari 67 negara. ”Waktu untuk keluarga dan pacar pun tinggal sedikit. Karena selepas kuliah harus latihan,” kata Jeremiah.
BACA JUGA: Unggah di Facebook, Langsung Terima 900 Komentar
Dia menjelaskan, latihan bisa sampai malam. Bahkan, tidak jarang mereka harus menginap di kampus UI untuk menuntaskan persiapan tadi. Mereka harus merumuskan contoh masalah atau perkara yang telah disodorkan. Panitia lomba yang diprakarsai United Nations Commission on International Trade Law (Uncitral) dan Austrian Federal Economic Chamber itu mengajukan contoh masalah yang lumayan pelik.
Perkara tersebut, ada sebuah rumah sakit (RS) milik negara (sejenis BUMN) yang meneken dua kontrak pembelian alat pendeteksi sekaligus pengobatan kanker ke pihak swasta. Kontrak pertama adalah membeli alat dengan teknologi lama. Fungsi alat teknologi lama itu adalah mendeteksi kanker pada pasien secara pasif.
Selanjutnya, RS tadi juga memiliki kontrak kedua, yakni pembelian alat pendeteksi kanker yang lebih mutakhir. Alat tersebut mampu secara aktif dengan sensor canggih mendeteksi dan mengatasi kanker. Permasalahan atau sengketa muncul karena alat di kontrak pertama tidak berfungsi alias rusak. Kemudian, masalah juga muncul pada pembelian alat di kontrak kedua. ”Ceritanya, alat di kontrak kedua itu tidak berjalansoftware-nya. Jadi, pihak RS merasa dirugikan dan menyetop sepihak klausul kontraknya dengan pihak swasta tadi,” paparnya.
Pemutusan sepihak dari RS tersebut jelas merugikan pihak swasta penyedia alat tadi. Pasalnya, pihak RS masih memiliki tanggungan USD 11,5 juta (sekitar Rp 132,3 miliar). Kerugian itu muncul karena pihak RS masih memiliki utang untuk kontrak pembelian alat yang pertama. Selain itu, pihak RS memiliki tanggungan cicilan untuk kontrak kedua.
Akhir cerita, panitia lomba membuat skenario bahwa pihak perusahaan swasta tersebut menjadi pihak penggugat. Sedangkan RS milik pemerintah itu menjadi pihak tergugat. Perkara tersebut diajukan ke meja pengadilan arbitrase.
Sebelum terbang mengelilingi Eropa, kata Jeremiah, timnya sudah mengirimkan naskah argumentasi ke panitia. Baik itu ketika berperan sebagai kuasa hukum pihak tergugat maupun penggugat. ”Naskah itu sifatnya formalitas. Belum dijadikan bahan penilaian lomba,” terangnya.
Setelah itu tim tersebut terbang ke Eropa untuk memulai perlombaan dengan modal uang sekitar Rp 200 juta. Sebelum mengikuti lomba inti di Wina, mereka menjalani dua kali lomba pemanasan dengan tema yang sama. Lomba pemanasan pertama digelar di Praha, Republik Ceko. Lomba itu bertajuk The 6th Annual BBH Prague Vis Pre-Moot pada 4–6 April lalu.
Pada lomba tersebut, tim UI berhasil menjadi juara pertama dan menyisihkan delegasi 30 kampus dari beberapa penjuru dunia. ”Selain itu, tim kami mendapatkan skor tertinggi,” paparnya.
Setelah itu mereka juga mengikuti lomba pemanasan di ajang The 4th Budapest (CEU) Vis Pre-Moot and Conference on International Commerce Law and Arbitration pada 7–9 April. Sayang, pada lomba uji coba kedua ini, nasib mereka tidak semujur di lomba pertama tadi. Pada lomba yang diselenggarakan di Budapest, Hungaria, itu, tim UI hanya duduk di peringkat kedua.
Jeremiah mengatakan, hasil di lomba pemanasan tersebut tidak dihitung dalam lomba inti di Wina. Sifat lomba di Budapest dan Praha itu murni pemanasan saja. Jeremiah menerangkan, saat menempuh perjalanan dari Praha ke Budapest, mereka sempat dibuat panik. Dia menceritakan, jadwal lomba di Budapest awalnya ditetapkan pukul 13.00 waktu setempat. Sehingga mereka menggunakan kereta dari Praha dengan perkiraan sampai di Budapest sekitar pukul 08.00 waktu setempat.
”Tapi, ternyata jadwal lomba di Budapest dimajukan menjadi pukul 10.00 waktu setempat. Kami jelas panik, tidak sempat ganti baju, langsung ke arena lomba,” kenangnya. Untung, perjalanan dari stasiun kereta di Budapest menuju area lomba berjalan mulus. Jeremiah mengaku mendapatkan bantuan dari KBRI Budapest.
Jeremiah mengatakan, dengan bekal dua lomba pemanasan di Praha dan Budapest itu, langkah mereka menuju Wina semakin mantap. Mereka menghadapi lomba bertajuk The 21st Willem C. Vis International Commercial Arbitration Moot pada 7–9 April dengan langkah tegap. Setelah sampai di tempat perlombaan dan berkumpul dengan tim dari hampir 291 kampus dari 67 negara itu, nyali mereka sempat goyah. Pasalnya, beber Jeremiah, respons peserta lomba terhadap delegasi dari Indonesia tidak begitu positif.
Dia memperkirakan tim lain memandang delegasi dari Indonesia tidak akan bisa bersaing dalam kontes arbitrase internasional itu. Indikasinya bisa dilihat dari sedikitnya penonton yang melihat tim Indonesia berlaga.
Meskipun mendapatkan sambutan kurang meriah, Jeremiah berusaha meyakinkan semangat rekan-rekannya. Dia menuturkan, timnya harus tetap tampil maksimal, terlepas dari bagaimana respons tim lain. Di babak penyisihan pertama, mereka bertekad harus melalui dengan manis. Di babak ini, panitia menyusutkan peserta dari 291 tim menjadi hanya 64 besar. Bisa masuk menjadi 64 besar sudah mendapatkan penghargaan dari panitia, yakni Honorable Mention of Frederic Eisemann Award.
Di babak penyisihan, papar Jeremiah, timnya kali pertama menantang tim tangguh dari Yale University. Pada pertemuan ini, tim UI bertindak sebagai penggugat, sedangkan tim dari Yale sebagai tergugat. Seusai babak penjurian, tim UI bisa mengalahkan tim dari kampus yang didirikan pada 1701 (kampus tertua ketiga di AS) itu. ”Kami berhasil masuk ke 64 besar, sedangkan Yale tidak. Itu artinya nilai kami di atas mereka,” kata Jeremiah dengan raut muka semringah.
Di babak awal ini, selain berhadapan dengan tim dari Yale, tim UI menghadapi tim dari China University of Politic Science and Law (sekolah hukum terbaik di Tiongkok), Trinity Collage Dublin dari Irlandia (berdiri 1592 dan dijuluki Mother of New University), dan Ural State Law Academy dari Rusia (berdiri 1931 dan merupakan kampus ternama di Rusia). ”Keempat tim yang menjadi lawan kami di babak penyisihan tidak ada yang ke 64 besar,” papar Jeremiah.
Dia mengaku bangga bisa menembus 64 besar lomba itu. Sejatinya, pada kontes ini, ada tim dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Namun, tim dari kampus yang berbasis di Jogjakarta tersebut gagal di babak penyisihan.
Jeremiah mengatakan, banyak tim dari kampus ternama yang tidak lolos ke 64 besar. Contohnya tim dari Harvard University, University College London, King’s College London, Leiden University (Belanda), dan University of Washington. ”Di babak penyisihan, kami memang tidak melawan langsung tim dari kampus-kampus top itu. Tapi, hasil penjurian, nilai kami di atas mereka,” paparnya.
Setelah berhasil menembus babak knockout yang terdiri atas 64 tim, akhirnya perjuangan tim UI terhenti. Mereka dikalahkan tim dari Victoria University of Wellington, Selandia Baru. Kampus yang berdiri pada 1897 itu memang terkenal dengan pembelajaran ilmu hukumnya.
Jeremiah mengakui, hasil pertarungan head-to-head dengan tim dari Victoria University of Wellington itu membuatnya kecewa. ”Pada tahap ini ada unsur subjektivitas dewan juri,” ucapnya. Dia menjelaskan, banyak juri lain yang memberikan pujian kepada timnya. Di antaranya, ada yang menyebutkan, penampilan tim UI tahun ini merupakan yang terbaik dalam penyelenggaraan ajang tersebut selama beberapa tahun terakhir.
Meskipun kecewa karena gugur lebih dini, Jeremiah mengaku tidak terlalu sedih. Paling tidak, dia sudah bisa bertemu langsung dengan tokoh arbiter profesional sekaliber Alan Redfern. Selain itu, salah seorang anggota timnya, Asri Rahimi, dianugerahi Honorable Mention of Martin Domke Award sebagai orator terbaik.
Jeremiah mengatakan, tidak ada reward uang dalam kontes ini. Namun, dengan penghargaan itu, dia mengaku sudah mendapatkan tawaran bekerja di sejumlah kantor pengacara atau advokat. Tapi, dia mengaku masih berkonsentrasi untuk menyelesaikan kuliah yang tinggal menuntaskan skripsi.
Secara pribadi, jelas Jeremiah, untuk persoalan hukum, sejatinya Indonesia bisa berbicara banyak di dunia internasional. Namun, dia merasa prihatin atas kabar-kabar miring penegakan hukum di Indonesia. Dia menjelaskan, penegakan hukum di Indonesia perlu ditingkatkan. ”Tugas yang harus segera dituntaskan adalah bagaimana bisa membuat masyarakat itu patuh atau taat terhadap hukum,” tandasnya.
Jeremiah juga menyentil rekrutmen menjadi hakim atau jaksa di republik ini. Dia tidak memungkiri, banyaknya kabar suap untuk menjadi abdi negara membuatnya ingin banting setir bekerja di lembaga hukum swasta. ”Sampai sekarang belum ada niat untuk terjun ke dunia hukum milik pemerintah. Tapi, bagaimana nanti, bisa jadi berbeda,” katanya lantas tertawa.
Sebagai mahasiswa hukum, Jeremiah juga tidak sepakat dengan praktik-praktik advokat yang menghalalkan segala cara. Misalnya menyuap aparat penegak hukum atau bahkan merangkai cerita atau kesaksian palsu. Menurut dia, tugas seorang advokat adalah memberikan keadilan hukum bagi pihak yang tergugat maupun penggugat.
”Misalnya, saya mendampingi seorang pembunuh, saya akui dia salah karena membunuh,” tegasnya. Tapi, sebagai seorang advokat profesional, dia akan berjuang bagaimana caranya supaya pembunuh itu mendapatkan hukuman yang adil. Sebab, bisa jadi dia membunuh karena terpaksa membela diri atau memang berencana. (c9/agm)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kangen Ortu, Dua Bocah Nekat Bersepeda ke Jakarta
Redaktur : Tim Redaksi