jpnn.com - BONTANG – Pengalihan pengelolaan sekolah menengah tingkat atas dari kabupaten/kota ke provinsi, memunculkan kekhawatiran dari guru-guru di Bontang, Kaltim.
Hal ini menyusul menyebarnya kabar yang menyebut provinsi tak mampu mem-back up anggaran yang selama ini dikeluarkan oleh kabupaten/kota kepada sekolah.
BACA JUGA: Penyaluran KIP akan Disatukan dengan KKS dan PKH
Abdul Munif Fudholi salah satunya. Guru SMKN 3 Bontang yang juga Wakil Kepala Sekolah bidang Kurikulum ini menganggap kebijakan tersebut berpotensi merugikan sekolah-sekolah di daerah.
Terlebih, sekolah negeri yang menggantungkan dana dari anggaran pemerintah selama ini.
BACA JUGA: Kurangi Angka Kecelakaan, Kemenhub Sasar Anak-anak Sekolah
Beberapa diantaranya yang berpotensi berkurang bahkan menghilang, seperti dana bantuan operasional sekolah (BOS), bantuan pengadaan gedung dan sarana prasarana, kesejahteraan guru, serta status pegawai tidak tetap atau honorer.
“Kita belum tahu kedepan seperti apa, karena belum resmi. Masih dalam proses peralihan,” kata Munif.
BACA JUGA: Hadiah Istimewa, 29 Ribu Sekolah tak Perlu Unas
Secara pribadi, dirinya pun sebenarnya menolak pengalihan pengelolaan SMA/SMK dari pemerintah kabupaten/kota ke pemerintah provinsi (Pemprov).
Munif menyangsikan kemampuan provinsi dalam menggantikan peran kabupaten/kota yang selama ini sudah berjalan.
Peralihan ini pun berisiko sekolah dapat memungut biaya Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) kembali, jika dana BOS yang disalurkan daerah selama ini tidak mampu ditutupi oleh provinsi.
“Apakah mereka mampu memberikan kesejahteraan yang selama ini sudah didapatkan? Kalau provinsi menyanggupi, ya tidak masalah,” jelasnya.
Beberapa tunjangan dari daerah, seperti uang makan serta tunjangan kinerja yang selama ini didapatkan, dikhawatirkan Munif akan terpotong.
Pasalnya, besar tunjangan ini tidak main-main. Dia merinci, uang makan dijatah Rp 30 ribu-35 ribu per hari.
Tunjangan kinerja dari Pemkot Bontang sebesar Rp 3 juta per bulan, ditambah dengan tunjangan dari provinsi sebesar Rp 300 ribu.
Praktis, jika provinsi tidak mampu menutupi tunjangan dari daerah, tiap guru akan kehilangan sekitar Rp 4 juta.
“Ini kan sangat terasa sekali dampaknya. Belum juga pegawai honorer yang harus diperhatikan,” ujar Munif.
Dia berharap, kalaupun peralihan ini benar-benar terjadi, apa yang telah didapatkan dari Pemkot Bontang selama ini mampu ditutupi oleh provinsi. Minimal, sebesar dengan nilai yang telah disebutkan.
“Bagaimanapun pasti akan berpengaruh terhadap semangat guru dalam mengajar,” ucapnya.
Kepala SMA IT Yabis, Mujiantono berkata senada. Permasalahan penting dalam peralihan status SMA/SMK ke provinsi ini ada di pendanaan.
Dia menjelaskan, selama ini sekolah mendapatkan tiga sumber pendanaan dari pemerintah, yakni dana BOS dari pemerintah pusat, BOS Daerah dari provinsi, dan BOS Tuntas Berkualitas (TK) dari Pemkot Bontang.
Jika menjadi tanggungjawab provinsi, maka dikhawatirkan dana BOS TK sebesar Rp 1 juta per siswa per tahun akan hilang.
“Swasta pun demikian. Tunjangan PGS (Persatuan Guru Swasta) ditakutkan hilang, sementara provinsi tidak ada anggaran untuk itu,” jelas Muji.
Agar pemda masih punya andil dalam bantuan dana ke sekolah, Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMA Bontang mengusulkan agar disiapkan Peraturan Gubernur (Pergub) yang mengatur daerah dapat membantu sekolah menggunakan dana hibah.
Hal ini disampaikan pada pertemuan MKKS SMA di Samarinda, beberapa waktu lalu.
“Itu yang kami harapkan. Kalau tidak terjadi, sekolah swasta yang awalnya gratis bisa mungut biaya SPP lagi,” katanya.
Muji berharap, setelah peralihan dari daerah ke provinsi resmi pada 1 Januari 2017, hak-hak pelajar serta guru tetap dapat dipenuhi, seperti peningkatan mutu pendidikan dan kesejahteraan guru.
Apalagi, Bontang sudah mencanangkan wajib belajar 12 tahun. “Karena pendidikan itu juga tanggungjawab pemerintah, baik tingkat pusat, provinsi, dan daerah,” tandasnya. (*/zul/sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jangan Sampai Kepala PAUD Tersangkut Persoalan Hukum
Redaktur : Tim Redaksi