JAKARTA - Tidak mudah menjadi wakil rakyatTak hanya disorot karena kinerja buruk dan citra kurang baik
BACA JUGA: Nasib Timur di Tangan DPR
Sebagian besar anggota DPR itu juga menyatakan mendapatkan "tekanan" dari para konstituenBACA JUGA: Tanya Kesalehan Timur ke Kyai
"Saya sampai sesak napas
BACA JUGA: Demokrat Optimis Timur Mulus
Thamrin, Jakarta Pusat, kemarin.Politikus dari Partai Golkar itu menceritakan, setelah terpilih dalam pemilu, banyak konstituen yang menganggap dirinya sebagai sosok yang bisa menyelesaikan segala masalahSeolah-olah anggota DPR adalah dewa penyelamat
Sayangnya, konteksnya tidak berhubungan dengan aspirasi dalam perumusan perundang-undanganSebagian konstituen kerap memosisikan para wakilnya di parlemen sebagai mesin ATM"Ini membuat saya sedih, gemes, dan sering menghindari untuk bertemu mereka," aku Nurul dengan suara agak bergetar
Nurul yang mewakili dapil Jawa Barat VII "Purwakarta, Karawang, dan Bekasi" duduk sebagai anggota Komisi II DPR.
Dalam acara yang diselenggarakan Centre for Electoral Reform (Cetro) itu, turut hadir sejumlah anggota dewan lainDi antaranya, Ida Fauziah (PKB), Hendrawan Supratikno (PDIP), dan MRomahurmuziy (PPP)Mereka juga mengungkap cerita yang tak jauh berbeda.
Ida Fauziah mengatakan, setiap hari selalu ada permintaan agar dirinya menjadi pembicara atau penceramah dalam suatu acaraTapi, nyaris tak ada panggung yang diberikan secara gratis"Selain menjadi penceramah, saya diminta membiayainya," kata ketua umum Fatayat NU itu, lantas tersenyum.
Dia juga sangat hafal pola-pola yang dipakai konstituen saat meminta uang"Kalau menjelang tahun ajaran baru, kalimat SMS-nya anak saya pintar, tapi tidak bisa sekolahKalau musim Lebaran, SMS yang masuk berbunyi bagaimana saya bisa mudikPasti seperti ituKalau saya tidak bisa merespons, SMS berikutnya lebih kejam," kata wakil dari Jawa Timur VIII yang mencakup Jombang, Nganjuk, Madiun, dan Mojokerto itu.
Menurut Ida, kondisi yang cenderung negatif itu harus disehatkan melalui pendidikan politik yang masif"Inilah peran DPR, pemerintah, dan partai politik," tegas ibu kelahiran Mojokerto, 17 Juli 1969, tersebut.
Hendrawan Supratikno mengatakan, dirinya memiliki buku catatan tebal berisi aspirasi masyarakat dari dapil yang diwakilinyaDalam Pemilu 2009, dia maju dari dapil Jawa Tengah X yang mencakup Batang, Pekalongan, Pemalang, dan Kota PekalonganNamun, dia menyatakan tidak memiliki "amunisi" yang cukup untuk memenuhinya.
"Mulai desa ini mau apa, bahkan keluarga itu minta apa, saya tahuMulai operasi mata sampai yang lainnyaTapi, bagaimana memenuhinyaSaya tidak punya uang," ujar anggota Komisi VI DPR itu
Dia mengaku kecewa sewaktu berkembang wacana mengenai dana aspirasi, DPR langsung diteriaki maling"Padahal, anggaran APBN yang sampai ke rakyat itu sudah disunat 60 persen sama makelar atau kontraktor," sindirnya
Hendrawan juga menyebut karakter praktik politik di Indonesia berkembang ke dua kutub yang tidak sehatDi satu sisi, demokrasi berbiaya tinggiDi sisi yang lain, relasi wakil rakyat dengan konstituen bertambah rendah"Membangun hubungan bertahun-tahun bisa sirna dalam semalam dengan politik uang," katanya.
Sedangkan MRomahurmuziy menyebut, hubungan antara wakil rakyat dan konstituen sejatinya merupakan simbiosis mutualisme"Artinya, Anda memberikan yang mereka minta pada titik-titik tertentu," kata wakil dari Jawa Tengah VII "Purbalingga, Barjarnegara, dan Kebumen" itu
Menurut dia, saat ini masih ada 31 juta rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan dan itu tersebar merata di semua provinsiDengan demikian, wajar bila ada tuntutan yang sifatnya kebutuhan dasarMulai perbaikan infrastruktur, pengadaan fasilitas pertanian, hingga rumah ibadahTidak ada permintaan yang menyangkut legislasi.
"Jadi, anggota dewan, ketika pulang reses, balik ke Jakarta pasti bawa proposalMasyarakat tidak mau memahami kalau anggota dewan tidak bisa mengeksekusi proposalPokoknya, dikejar terus lewat SMS," ujar Romi, begitu dia biasa disapa.
Romi menyampaikan, mekanisme resmi untuk memperjuangkan aspirasi yang bersifat kebutuhan dasar itu masih belum adaTapi, tidak sedikit anggota dewan yang tetap mendesak instansi tertentu untuk memastikan proposal tersebut terealisasi.
Di tempat yang sama, pengamat politik Syamsuddin Haris menduga, masyarakat meminta uang secara instan dari wakilnya karena bosan dengan janji-janji politik yang tidak terpenuhi"Daripada menunggu lama, mereka memilih yang instan saja," katanyaKarena itu, kehadiran anggota dewan di dapil menjadi momentum bagi rakyat untuk mendapatkan hadiah"Seolah-olah ada Sinterklas yang datang," ujarnya.
Menurut Haris, para wakil rakyat seharusnya melihat adanya masalah pada masyarakat di dapilnya, yakni kemisikinanTugas legislator adalah memperjuangkan melalui legislasi"Bukan konteks mengumpulkan aspirasi yang akhirnya didefinisikan dalam bentuk proposal itu," tegas Haris(pri/c6/tof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Hanura dan Golkar Belum Bersikap
Redaktur : Tim Redaksi