Dianggap Tak Bisa Penuhi Syarat, Ini Jawaban PT Jakarta Monorail

Minggu, 11 Januari 2015 – 09:52 WIB
Ilustrasi. FOTO: JAWA POS

jpnn.com - “PERSETERUAN” antara Pemprov DKI dengan PT Jakarta Monorail terus menghangat. Direktur PT Jakarta Monorail (JM) Sukmawati Syukur ketika dikonfirmasi Jawa Pos, (induk JPNN) mengakui bahwa pihaknya telah mengirim surat ke pemprov. 

Intinya, mereka meminta klarifikasi pemprov atas pernyataan-pernyataan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di media massa. Ahok kali menyampaikan keinginan untuk menghentikan proyek monorel. ”Kami tunggu surat resmi dari mereka. Jangan cuma bisa ngomong di media,”tutur dia.

BACA JUGA: PT JM Tak Bisa Penuhi Syarat, Proyek Monorail Makin Gelap

Menurut Sukma, panggilan Sukmawati Syukur, selama ini pihaknya sudah berupaya menemui Ahok untuk menjelaskan progres proyek. Namun, pertemuan selalu gagal. ”Pak Ahok-nya nggak mau ketemu. Akhirnya selama ini hanya bisa lewat Pak Sutanto. Kami nggak tahu bagaimana penyampaian Pak Sutanto ke gubernur soal laporan kami,” katanya.

Nah, jawaban resmi pemprov akan menjadi bahan pertimbangan manajemen PT JM untuk mengambil langkah selanjutnya. Termasuk, membawa masalah tersebut ke ranah hukum arbitrase. ”Bergantung isi suratnya. Kami tunggu aja surat resmi dari pemprov," ujar Sukma.

BACA JUGA: Penghuni Ilegal Flat Harus Angkat Kaki

Dalam salinan surat resmi berkode Ref.No.264/JM-SS/O-L/XII/2014 dari PT JM ke gubernur DKI yang didapat Jawa Pos, sebetulnya PT JM telah memberikan beberapa penjelasan. Di antaranya, pada poin 2 disebutkan bahwa soal depo BKB dan di Waduk Setia Budi, PT JM mengacu pada pasal 4 perjanjian kerja sama (PKS) tertanggal 31 Mei 2004. Yakni, penyediaan lahan untuk depo termasuk dalam hal yang akan disediakan pemprov.

Pada poin 3, PT JM juga menjawab soal kepemilikan garansi bank 30 persen modal nilai proyek. Perusahaan itu memang wajib menyediakan pendanaan dengan porsi 30 persen dalam bentuk modal sendiri dan 70 persen dalam bentuk pinjaman bank. Kesanggupan tersebut telah disampaikan ke pemprov pada 10 September 2014.

BACA JUGA: Presdir Indosat Minta Maaf Atas Iklan yang Singgung Warga Bekasi

Jaminan dari PT JM itu mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2013 tentang Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, serta Permen Bappenas Nomor 3 Tahun 2012 tentang Panduan Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha. 

Tetapi, menurut PT JM, dua aturan itu tidak mengatur persentase besaran atau jaminan dari investasi. Dengan begitu, poin tersebut mengacu pada praktik yang diterapkan dalam beberapa proyek infrastruktur yang relevan, yaitu 1 persen sampai 5 persen, bukan 30 persen.

Pada bagian akhir surat, PT JM menjelaskan besaran jaminan itu dibahas secara detail oleh tim pemprov, PT JM, dan wakil tim konsultan Bappenas pada 28 Februari 2014. Dalam pertemuan tersebut, disepakati kisaran jaminan 1 persen hingga 5 persen. Kesepakatan itu juga sudah diserahkan ke pemprov.

Sementara itu, rencana pemprov menghentikan proyek monorel mendapat sorotan dari mantan Gubernur DKI Sutiyoso. Sebagai penggagas, dia berharap proyek tersebut bisa dilanjutkan kembali. Dia mengatakan, dua pihak harus duduk bersama. ”Dulu saya yang gagas, lalu zaman Fauzi Bowo mandek. Terus, Pak Jokowi sudah berinisiatif melanjutkan, masa zaman Ahok mandek lagi,” ujarnya kemarin.

Gagasan pembangunan monorel menjadi cetak biru rencana pengembangan transportasi makro pada 2005. Jaringan transportasi makro di DKI adalah busway, MRT, water way, dan monorel. ”Ini harus saling terintegrasi satu sama lain, nggak bisa berdiri sendiri-sendiri. MRT sekarang sudah dikerjakan, seharusnya monorel juga sudah jalan,” kata dia.

Soal tarik-ulur penyediaan lahan untuk depo, Bang Yos –sapaan akrab Sutiyoso– menuturkan, Pemprov DKI seharusnya menyediakan lahan. Sebab, sebagai penguasa aset negara, pemerintah DKI mesti memberikan kemudahan. ”Pemprov harus memfasilitasi lahan depo, ya dicariin,” ungkapnya.

Menyinggung sikap pemprov yang meragukan kemampuan finansial PT JM untuk membiayai proyek tersebut, Bang Yos menilai sikap pemprov terbilang tidak masuk akal. PT JM, lanjut dia, merupakan perusahaan asal Tiongkok. ”Saya yakin perusahaan itu mampu. Duitnya banyak sekali itu,” ucap dia.

Bang Yos menambahkan, moda transportasi jenis monorel sudah menjadi pilihan utama di negara-negara lain. Di antaranya, Tiongkok, Malaysia, Bangkok, dan Filipina. Karena itu, Jakarta juga harus menjadikan moda tersebut sebagai pilihan untuk mengurai kemacetan.

Dihubungi terpisah, Ketua DTKJ (Dewan Transportasi Kota Jakarta) Edi Nursalam menjelaskan, kelanjutan proyek itu memang harus diperjelas. Kalau proyek tersebut digantung, iklim investasi bisa ikut terganggu. Situasi itu bisa menurunkan kepercayaan investor terhadap pemprov. Mereka bakal khawatir mendapat perlakuan tidak pasti juga bila ingin berinvestasi. ”Karena kita ajak orang kerja sama, kita undang, tapi kita nggak kasih fasilitas. Lama-lama kan jadi nggak kondusif juga kalau begitu,” ungkapnya.

Menurut Edi, soal tata ruang sebetulnya urusan mudah. Izin ketataruangan itu merupakan wewenang pemprov yang bisa saja diberikan kapan pun. Karena itu, alasan pemprov soal tata ruang dan kemampuan finansial PT JM terkesan dicari-cari. Dia juga menilai pemutusan kerja sama itu bakal merugikan pemprov. ”Karena denger-denger, kalau itu diputus, Pemprov DKI harus bayar Rp 200 sampai Rp 300 miliar,” terang dia. (bad/co1/hud)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kasus Pembuangan Bayi di Jakarta Meningkat


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler