JAKARTA - Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Haryono Umar terus mempelajari kasus kekerasan di perguruan tinggi. Khususnya di kampus kedinasan di luar pengelolaan Kemendikbud. Dia membuka posko pengaduan dan dijamin keamanan pelapor.
Haryono mengatakan sistem pengelolaan pendidikan harus diperbaiki. Meninggalnya mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta Dimas Dikita Handoko, 19, menambah panjang sejarah kelam kekerasan di dalam kampus ikatan dinas.
"Apapun itu kampusnya. Mau kampus ikatan dinas atau kampus umum tidak boleh ada kekerasan," kata mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu kemarin.
Khusus kasus Dimas yang terjadi di luar kampus dan di luar jam pendidikan, Haryono menganggap itu sama saja. Dia menuturkan kampus itu sejatinya sudah mendapatkan amanah dari orangtua mahasiswa untuk mengurus si anak.
"Tetap harus tanggung jawab dong. Karena ada kaitan dengan pola pembinaan mahasiswa," jelas dia.
Menurut Haryono pendidikan di sekolah kedinasan harusnya lebih baik, karena kementerian tempatnya bernaung tidak terlalu luas pemantauan dan pembinaannya. Berbeda dengan Kemendikbud yang membawahkan PTN sekitar seratus unit lebih di seluruh Indonesia.
Dia lantas mulai membaca fenomena masih suburnya kekerasan di kampus kedinasan. Padahal sudah jelas-jelas kampus kedinasan STIP Jakarta yang ada di bawah naungan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) itu bukan lembaga pendidikan militer. Semi militer pun juga tidak.
Haryono menegaskan banyaknya kasus kekerasan, tidak jarang berujung kematian, di kampus kedinasan disebabkan karena ketidakberanian si korban untuk melapor. Baik itu melapor di internal lembaga kampus sendiri, apalagi di kepolisian. "Padahal sudah jelas bahwa kekerasan itu tindak pidana," katanya.
Korban kekerasan, yang umumnya oleh kakak angkatan itu takut melapor dengan banyak alasan. Diantaranya adalah mendapat ancaman dari para senior, kalau melapor akan di-bully lebih sadis lagi. Ketakutan berikutnya adalah, mereka tidak melapor karena khawtir akan di-drop out oleh kampus, karena membongkar aib almamater.
Pemecatan dari kampus kedinasan tentu sangat merugikan mahasiswa bersangkutan. Sebab ketika dia berhasil menuntaskan kuliah di kampus kedinasan, ada jaminan menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS). Mereka tidak perlu repot-repot mengikuti ujian tulis untuk menjadi abdi negara, seperti masyarakat pada umumnya.
Potensi kerugian materi juga besar, karena banyak informasi untuk masuk sekolah kedinasan membutuhkan biaya yang tidak murah.
Untuk itu Haryono mengatakan Itjen Kemendikbud membuka layanan pelaporan whistleblower kepada seluruh mahasiswa di Indonesia. Baik itu kampus negeri atau swasta, serta kampus kedinasan. "Sekali dapat kekerasan dari mahasiswa lain atau unsur kampus lainnya, silahkan lapor. Saya jamin keamanannya," tegas Haryono.
Setelah menerima laporan itu, Haryono mengatakan akan menindaklajuti bersama intansi terkait. Seperti kepolisian serta kementerian atau lembaga induk sekolah itu.
Dengan pelaporan itu, potensi adanya mahasiswa yang meregang nyawa sia-sia karena jadi bulan-bulanan senior bisa ditekan. Melalui sistem pelaporan ini, Haryono mengatakan Itjen Kemendikbud bisa melakukan pendeteksian dini. "Tidak seperti sekarang, ramai ketika sudah ada korban melayang. Kami tetap prihatin atas kejadian di STIP Jakarta itu," paparnya.
Dia berharap kasus ini tidak terjadi lagi di lembaga STIP Jakarta dan sekolah kedinasan lainnya di seluruh Indonesia.
Sementara itu Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud Djoko Santoso menuturkan sudah mulai melakukan koordinasi dengan tim dari Kemenhub.
"Koordinasi itu untuk melakukan evaluasi menyeluruh," ujar mantan rektor ITB itu. Djoko belum bisa menjelaskan sanksi lebih jauh, karena menunggu evaluasi itu tuntas. (wan)
BACA JUGA: Masuk Septic Tank, Bocah 1,8 Tahun Kritis
BACA ARTIKEL LAINNYA... Keluarga Tersangka Sodomi JIS Tolak Outopsi
Redaktur : Tim Redaksi