jpnn.com - JAKARTA - Penyidik Pegawai Negeri Sipil dari Dirjen Pajak, Mohammad Dian Irwan Nuqisra dan Eko Darmayanto, terancam hukuman maksimal 20 tahun penjara. Ini menyusul dakwaan terhadap dua abdi negara itu karena kasus korupsi pajak.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK dalam dakwaan primair atas Dian dan Eko menyebut keduanya melakukan perbuatan yang memenuhi melanggar Pasal 12 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
BACA JUGA: Himpun Masukan, Megawati Gelar Lesehan
Sedangkan dalam dakwaan pertama subsidair, keduanya diancam pidana Pasal 11 UU Tipikor jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Keduanya didakwa menerima hadiah berupa uang SGD 600 ribu dari Direktur PT The Master Steel Manufactory, Diah Soemedi. Penerimaan berbentuk mata uang asing itu terkait upaya penghentian penyidikan perkara pidana pajak.
"Patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya," kata JPU KPK, Riyono saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (8/10).
BACA JUGA: Kemlu Beri Kemudahan Peserta Tes CPNS dari Luar Jawa
Menurut JPU, kedua pegawai pajak itu mengupayakan penghentian penyidikan perkara pajak PT Master Steel dengan tersangka Diah Soemedi dan Istanto Burhan. Diah dan Istanto diduga menyampaikan surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak yang isinya tidak benar.
Penyidikan ini merupakan tindaklanjut temuan tim pemeriksa bukti permulaan atas pelaporan utang PT The Master Steel yang diduga tidak benar sebesar Rp 1,003 triliun dan diindikasikan merupakan hasil penjualan yang tidak dilaporkan dalam SPT PPG Badan tahun pajak 2008. "Hal ini dapat menimbulkan kerugian negara Rp 301,050 miliar," sambung JPU.
BACA JUGA: Berkas Hampir Tuntas, Rusli Segera Diadili
Dalam dakwaan jaksa disebutkan pada 24 April 2013, Dian dan Eko Darmayanto bertemu dengan Diah Soemedi di Hotel Borobudur, Jakarta. Saat pertemuan itu, Diah menyampaikan kepada kedua pegawai pajak itu agar penyidikan terhadap Master Steel dihentikan. Dari pertemuan itu juga disepakati adanya pemberian sejumlah uang untuk menghentikan penyidikan.
Atas kesepakatan tersebut, Dian dan Eko meminta uang muka sebesar Rp 10 miliar. Setelah beberapa kali pertemuan, akhirnya Diah memberikan uang dengan total SGD 600 ribu. Pemberian uang dilakukan dua kali masing-masing SGD 300 ribu, yakni pada 7 Mei 2013 dan 15 Mei 2013.
Pada pemberian tahap pertama, Diah memerintahkan Effendi Komala menemui Eko untuk menyerahkan uang. Penyerahan dilakukan dengan cara meletakkan uang di kolong jok sopir mobil Honda City milik Eko yang terparkir di Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta.
Sedangkan penyerahan tahap dua, uang 300 ribu SGD pada 15 Mei 2013 dilakukan Teddy Mulyawan. Teddy meletakan uang di mobil Avanza B 1696 KKQ di parkir Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta.
Setelah menerima uang, beberapa hari kemudian Eko sengaja mengirim berkas perkara pajak Master Steel yang tidak lengkap ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Tujuannya supaya berkas itu dikembalikan dan dapat diterbitkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3).
Sementara itu, dalam dakwaan kedua, Eko dan Irwan menerima uang Rp 3,250 miliar dari Laurentinus Suryawijaya Djuhadi, selaku pemilik dan pemegang saham PT Delta Internusa dan PT Norojono Tobacco Internasional. Uang itu diserahkanmelalui Manajer Akuntansi PT Delta Internusa, Adi Setiawan dan stafnya, Adi Winarko. Menurut JPU, keduanya juga pernah menerima USD 150 ribu dari Kepala Bagian Keuangan PT Nusa Raya Cipta, Handoko Tejo Winoto.
JPU Medi Iskandar Zulkarnain menuturkan, uang Rp 3,25 miliar untuk Eko dan Dian itu diduga sebagai suap untuk menghentikan penyidikan tindak pidana perpajak yang dilakukan PT Delta Internusa. Sebab, dalam penyidikan ditemukan kejanggalan data Surat Pajak Terhutang perusahaan rokok itu.
"Dalam SPT PT Delta Internusa tercantum data peredaran rokok sebesar Rp 6,1 triliun. Padahal diketahui nilai rokok yang masuk lebih dari Rp 8 triliun," kata JPU.
Menurut Jaksa Iskandar, Eko dan Irwan juga menemukan kejanggalan SPT Laurentinus yang juga termasuk seratus orang terkaya di Indonesia. "Awalnya Laurentinus keberatan dengan permintaan kedua terdakwa. Tetapi, setelah Eko dan Irwan bertemu dengan Adi Setiawan dan Adi Winarko, disepakati imbalan buat penghentian penyidikan pajak Rp 3,250 miliar," urai JPU.
Uang itu lantas dibagi dua antara Eko dan Irwan. Eko mendapat Rp 1,5 miliar, sedangkan Irwan mendapat Rp 1,2 miliar. Lantas dalam perkara PT Nusa Raya Cipta, Eko dan Irwan menerima USD 150 ribu guna menghentikan penyidikan pajak perusahaan itu.
Di akhir persidangan pembacaan dakwaan, baik Eko maupun Irwan mengaku tidak mengajukan nota keberatan (eksepsi). Ketua Majelis Hakim Amin Ismanto lantas menjadwalkan persidangan akan dilanjutkan pada 22 Oktober mendatang, dengan agenda pemeriksaan saksi. (flo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sertifikasi Halal Obat Dinilai Tidak Perlu
Redaktur : Tim Redaksi