Digoel

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Jumat, 16 Juli 2021 – 13:54 WIB
Menteri Sosial Tri Rismaharini. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Penjajah Belanda menyebut Digul sebagai Digoel, atau Boven Digoel (Digoel Atas) karena letaknya yang berada di dataran tinggi.

Digoel di Papua adalah daerah buangan tempat pengasingan para pemberontak yang menantang kekuasaan kolonial.

BACA JUGA: Penilaian Pakar Hukum Pidana soal Ancaman Bu Risma Pindahkan PNS Pemalas ke Papua

Ada dua daerah pembuangan di Digul Papua, Tanah Atas dan Tanah Merah.

Dua-duanya adalah daerah black spot, lubang hitam, yang keras, tandus, panas, dan mematikan.

BACA JUGA: Politikus PDIP Nilai Ancaman Bu Risma Pindahkan ASN ke Papua Hanya Spontanitas

Manusia buangan harus melawan keganasan alam dan harus bisa bertahan menghadapi serangan malaria yang mematikan.

Ketika Menteri Sosial Tri Rismaharini Selasa (13/7) yang lalu meledak-ledak kemarahannya dan mengancam anak buahnya untuk dibuang ke Papua, dia mungkin tidak sadar, atau tidak tahu, bahwa dalam memori perjuangan bangsa, Papua Digoel memang daerah buangan.

BACA JUGA: RUU Otsus Papua Disahkan DPR, Irjen Fakhiri Pastikan Kamtibmas Relatif Kondusif 

Digoel adalah tempat pembuangan para outcast, orang-orang yang tidak dikehendaki, orang-orang yang dianggap sebagai nuisance, pengganggu yang suka bikin resek.

Siapa pun yang dianggap sebagai benalu yang mengganggu akan dibuang ke Digoel. Mereka adalah orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI (Partai Komunis Indonesia), para aktivis Islam, dan para pejuang nasionalis, seperti Mohammad Hatta dan Soetan Sjahrir. 

Sudah lama Belanda mengincar Hatta. Gerak-geriknya bikin waswas penguasa.

Belanda mulai mengawasinya sejak dia masih bersekolah di Belanda dan memimpin organisasi Perhimpunan Indonesia.

Puncaknya, Hatta ditangkap di Batavia (Jakarta) pada Februari 1934 karena aktivitasnya di Partai Nasional Indonesia (PNI). Setahun kemudian atau pada 28 Januari 1935, Hatta dibuang ke Tanah Merah, Digoel Papua. Pengasingan bagi orang-orang kepala batu dan pemberontak.

Di sana, Hatta masuk kelompok naturalis atau golongan yang enggan berkolaborasi dengan penguasa.

Belanda membagi orang buangan menjadi dua kelompok, yaitu kolaborator (werkwillig) yang mau bekerja sama dan mereka yang disebut sebagai kepala batu.

Hatta dirayu dengan pilihan. Pejabat Belanda memintanya masuk golongan werkwillig, dengan iming-iming mendapat ransum berupa beras, kacang hijau, teh, minyak kelapa, dan kebutuhan pokok lainnya.

Golongan ini diberi upah 40 sen sehari dan dijanjikan akan dikembalikan ke tempat asalnya.

Adapun kelompok naturalis hanya dapat ransum saja. Mereka juga harus melakukan pekerjaan kasar, seperti mencangkul, menggali selokan, dan pekerjaan kuli lain. Para naturalis atau non-kooperator ini diancam akan dibiarkan hidup selamanya di tanah Digoel.

"Percayalah aku tidak akan tinggal selama-lamanya, karena dunia berubah senantiasa,” kata Hatta sambil melangkah keluar sebagaimana ia ceritakan dalam "Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi" (Penerbit Kompas, 2011).

Hatta menceritakan detail pengasingan itu dalam trilogi otobiografi di buku kedua "Berjuang dan Dibuang".

Bukan sekali itu saja Hatta ditawar. Pada Juli 1935, bujukan untuk mengabdi kepada Belanda kembali datang dari Residen Haga dari Ambon. Haga mengunjungi Digoel dan memanggil Hatta dan Sjahrir dan dirayu supaya mau menyerah dengan iming-iming menaikkan jatah ransum makanan dan uang.

Hatta dengan tegas menolak. Sjahrir juga rupanya mendapat tawaran yang sama.

Tak seperti Hatta, dia terpaksa menerima tawaran itu. Kepada Hatta, Sjahrir mengaku bahwa dirinya mengaku terpaksa menerima bantuan dari pemerintah itu. Selama berada di Digoel, Sjahrir tidak memiliki pendapatan sepeser pun untuk menafkahi istrinya di Belanda.

Hatta dapat memaklumi keputusan Sjahrir. Namun, beberapa kawan di Digoel mencela Sjahrir. Dia dituduh telah menyerah kepada pemerintah Belanda.

Hatta meyakinkan semua orang bahwa Sjahrir bukan meminta, tetapi hanya menerima, dan memang keadaan yang memaksanya melakukan hal itu. Beberapa waktu kemudian, cela-celaan kepada Sjahrir tidak terdengar lagi.

Kamp Boven Digoel didirikan Belanda pada 1927 dengan dua lokasi, Tanah Merah dan Tanah Tinggi. Gubernur Jenderal Hindia Belanda bisa menggunakan kekuasaannya mengirim orang yang dianggap mengancam hukum dan peraturan ke tempat tertentu.

Hukuman ini tidak punya batas waktu. Hanya gubernur jenderal yang boleh mencabut hukuman tersebut.

Kamp Boven Digoel dibangun menyusul perlawanan penganut komunis pada 1926-1928. Penguasa Hindia Belanda memerintahkan penangkapan massal.

Sebanyak 13 ribu orang ditahan, 4.500 orang di antaranya diproses, didakwa dan dipenjara. Sisanya dibebaskan.

Dari 4.500 orang yang dijatuhi hukuman, Belanda memilih 1000-an orang yang dianggap benar-benar kepala batu dan berbahaya. Mereka inilah yang pertama kali dibuang ke Digoel.

Perlawanan kaum komunis yang berhasil diredam, kemudian dilanjutkan oleh golongan Islam-Nasionalis setelah 1927. Mereka inilah yang ikut dibuang ke Digoel.  Termasuk Hatta dan Sjahrir.

Sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang merupakan alumnus kamp Pulau Buru, menuliskan kisah-kisah orang buangan Digoel dalam buku "Cerita dari Digul" (Gramedia, 2001).

Pram mengumpulkan lima cerita dari lima alumnus Digoel berisi kisah penangkapan dan latar belakang, serta berbagai tantangan hidup sebagai orang buangan di tanah gersang.

Asa seorang kuli bernama Rustam yang bekerja di perkebunan Belanda. Ia membela kawan sesama kuli yang mendapat perlakuan tidak adil dan disiksa pengawas perkebunan.

Rustam melancarkan propaganda kepada rekan sesama kuli, menyadarkan mereka akan hak-haknya, dan memberi harapan mengenai hidup sama rata sama rasa.

Rustam ditangkap saat melakukan rapat. Ketika penggeledahan, Belanda menemukan kartu anggota Partai Komunis yang membuatnya diasingkan ke Digoel.

Rustam pergi meninggalkan kampung halaman di Pematangsiantar, dan meninggalkan kekasihnya Cindai. Ia berjanji akan kembali dan memenuhi janji untuk menikahi Cindai.

Beberapa tahun di pembuangan Rustam bisa kembali ke tanah kelahirannya dengan selamat.

Cindai, sang kekasih masih setia menunggu. Rustam memenuhi janji untuk melamar. Namun, cap sebagai eks tahanan komunis membuat orang tua Cindai tidak merestui perjodohan mereka.

Rustam akhirnya nekat memilih jalan "ngawula", istilah untuk kawin lari masyarakat Pematangsiantar, yaitu dengan cara pindah ke Sipirok.

Namun, keluarga Cindai mengetahui persembunyiannya dan menjemputnya pulang. Orang tua Cindai melaksanakan kenduri guna membatalkan perkawinan anaknya.

Namun, Cindai masih kukuh dengan cintanya kepada Rustam meskipun mereka batal menikah. Pilu hati Rustam. Cap sebagai eks tahanan politik mengandaskan cita-cita dan cintanya.

Pramoedya mengalami nasib seperti Rustam. Ia diasingkan ke Pulau Buru karena dianggap bagian dari PKI. Di Pulau Buru Pram menyelesaikan karya master piece Trilogi Pulau Buru, "Jejak Langkah", "Bumi Manusia", dan "Rumah Kaca".

Sastrawan Jerman Goethe mengatakan, "Orang perlu mendengarkan sepotong dua potong musik, menikmati sebait dua bait puisi dan melihat pemandangan indah, termasuk lukisan, setiap hari, agar fokusnya mengejar keduniawian tidak hati dan pikirannya.

Risma perlu mendengar nasihat Goethe ini supaya hatinya lebih lembut dan lebih paham terhadap kemanusiaan dan sejarah melalui sastra.

Baca Sinchan dan Dora Emon boleh-boleh saja. Namun, sesekali harus baca karya sastra, apa saja, supaya tidak plonga-plongo. (*)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler