Digugat Anak Kandung Rp 1,8 M, Siti Rokayah Tetap Tabah

Senin, 27 Maret 2017 – 07:22 WIB
Siti Rokayah (dua dari kiri) bersama tiga anaknya di Kampung Sanding Atas, Kelurahan Muara Sanding, Kecamatan Garut Kota, kemarin. Foto: BAYUPUTRA/JAWA POS

jpnn.com - Siti Rokayah tak pernah menduga bakal digugat putri sendiri, Yani Suryani, atas sesuatu yang tidak pernah dia lakukan.

Padahal, sebagai orang tua tunggal, dia berhasil membesarkan 13 anaknya hingga hidup rukun.

BACA JUGA: Miris! Ibu Digugat Anak Kandung Rp 1,8 Miliar

BAYU PUTRA, Garut

SENYUM cerah tersungging di wajah Amih, begitu Siti Rokayah biasa dipanggil, saat keluar dari kamarnya.

BACA JUGA: Lima Duta Besar Terpesona Gebyar Budaya Garut

Dia baru saja menyelesaikan salat dan keluar untuk menyambut Wakil Bupati Garut Helmi Budiman.

Kemarin pagi (26/3) Helmi bertandang ke kediaman putri bungsu Amih, Leni Nurlaeni. Sekitar setahun terakhir, Amih tinggal di rumah Leni.

Mengenakan pakaian dan jilbab dengan warna dominan cokelat, Amih berjalan perlahan dari kamarnya dengan bantuan kruk.

Sebelum Amih duduk, Helmi menyalami dan mencium tangannya. Helmi lantas memperkenalkan diri sebagai wakil bupati Garut. Mereka kemudian duduk bersebelahan di ruang keluarga.

Keduanya terlibat dalam obrolan yang asyik menggunakan bahasa Sunda.

Selama obrolan itu, tampak jelas Amih berusaha menyembunyikan warna hatinya.

Dia selalu tersenyum dan tertawa saat diberi semangat oleh Helmi, yang menegaskan dukungan advokasi dari Pemkab Garut atas perkara yang sedang dihadapi.

Wajah Amih kembali cerah setelah Helmi pamit pulang. Ketika diajak ngobrol, tak henti dia tertawa hingga tampak giginya yang tak lagi utuh.

”Kaki saya lagi sakit, habis jatuh,” ucap nenek 83 tahun itu mengawali pembicaraan. Dia juga menceritakan memiliki penyakit jantung.

Amih resmi menjadi single mother pada 1976. Sang suami Adang Ranudinata berpulang 18 bulan setelah Leni lahir di usianya yang ke-47.

Sejak saat itu Amih mengurus sebagian besar putra-putrinya yang masih belum beranjak dewasa bermodal uang pensiun suaminya. Termasuk Yani yang saat itu masih remaja berusia 13 tahun.

Amih mendidik putra-putrinya dengan kasih sayang dan prinsip kemandirian.

Pekerjaan rumah diurus secara gotong royong oleh anak-anak. ”Paling saya kebagian masak nasi,” ucapnya seraya terkekeh.

Sempat memiliki asisten rumah tangga, akhirnya dengan alasan ekonomi pula dia tidak lagi mempekerjakannya.

Anak-anaknya yang sudah dewasa dan bekerja pun tanggap. Mereka yang sudah mapan membantu biaya pendidikan adik-adiknya. Lilis Suminarsih misalnya.

Putri ketiga Amih itu memodali Yani dan kembarannya, Yanti Suryati, berjualan kue di sekolah.

”Saya selalu bilang, kalau lapar makan saja kuenya. Tapi tidak pernah dilakukan. Mereka berdua jujur,” ungkap Lilis yang kemarin juga berada di kediaman Leni.

Hasil didikannya itu berbuah manis. Anak-anaknya menjadi mandiri. Bahkan, enam di antaranya berhasil lulus sarjana.

Kini Amih menikmati hari tuanya di kediaman Leni di Kampung Sanding Atas, Kelurahan Muara Sanding, Kecamatan Garut Kota.

Rumah Amih di Jalan Ciledug, Kelurahan Kota Kulon, Kecamatan Garut Kota, kini tidak dihuni.

Rumah di Ciledug itu merupakan hasil patungan keluarga Amih dan suaminya.

Tanahnya diberikan nenek Amih. Kemudian, mertuanya membangunkan rumah pada 1956.

Sebab, penghasilan Adang sebagai PNS yang mengelola pasar di Garut kala itu tidak cukup untuk membangun rumah sendiri. Sementara itu, Amih tidak bekerja.

Di usianya yang senja, Amih punya 40 cucu dan 30-an cicit dari anak-anaknya. Kegiatannya lebih banyak dihabiskan untuk tiga hal. Ibadah, menonton televisi, dan duduk di beranda depan rumah.

Selain salat lima waktu, tahajud hampir tidak pernah dia tinggalkan.

Kemudian, penglihatannya yang makin berkurang juga tidak bisa menghalangi hobinya membaca Alquran meski harus menggunakan kacamata. ”Ibu sudah tua, mau apa lagi?” tuturnya.

Sedangkan untuk acara televisi, Amih suka menonton serial India, juga berita. Dia belum banyak mengenal tetangga sekitar kediaman Leni karena belum lama tinggal di rumah itu.

Berbeda halnya ketika masih tinggal di Ciledug. Setiap hari dia duduk di beranda dan menyapa para tetangga yang lewat.

Tidak jarang tetangga yang baru kembali dari pasar mampir untuk mengobrol dengan Amih.

Anak-anak Amih pun hidup rukun satu sama lain. Mereka selalu berkumpul saat Hari Raya Idul Fitri. Alhasil, kediaman Amih selalu ramai bila Lebaran tiba.

Canda tawa para cicit membawa kebahagiaan bagi Amih. Setidaknya sampai Idul Fitri tahun lalu.

Menjelang Ramadan tahun ini, Amih ditimpa cobaan berat. Semua berawal dari kedatangan Yani ke kediaman Leni pada medio Oktober 2016.

Eep Rusdiana, juru bicara keluarga Amih, menjelaskan, tanpa sepengetahuan saudara-saudaranya, Yani meminta Amih menandatangani surat pengakuan utang dengan nominal Rp 41,5 juta. Penandatanganan surat itu baru diketahui keesokan harinya.

Surat tersebut merupakan buntut peristiwa di masa lalu, tepatnya pada 2001.

Kala itu putra keenam Amih yang juga kakak Yani, Asep Ruhendi, meminjam uang kepada Yani senilai nominal tersebut.

Uang itu hendak digunakan untuk menebus sertifikat rumah Amih yang dijadikan jaminan utang Asep ke BRI.

Pinjaman hampir jatuh tempo, tapi sisa utang sekitar Rp 40-an juta tidak kunjung terbayar.

Menurut Eep, saat itu suami Yani, Handoyo, menawarkan untuk menalangi. Dengan catatan bila sertifikat itu ditebus segera dibalik nama atas nama Handoyo atau Yani.

Tentu saja Asep tidak setuju karena putra-putri Amih lainnya juga tidak setuju. Pada akhirnya, Handoyo tetap memberikan pinjaman yang diminta. Namun dijanjikan dalam dua termin.

Termin pertama sekitar Rp 21,5 juta dengan cara transfer. Sisanya Rp 20 juta akan diserahkan ke bank secara tunai sekaligus untuk melunasi utang Asep.

Ternyata, versi Asep, termin kedua tidak pernah diserahkan. Padahal, dalam surat perjanjian dia berutang kepada Handoyo Rp 41,5 juta.

Alhasil, sertifikat rumah tidak kunjung berhasil ditebus. Sampailah berita tersebut kepada Lilis yang kala itu bekerja di Kuwait.

Lilis kemudian meminta Yanti mencarikan pinjaman ke orang lain. Nanti dia yang mencicil. Yang penting sertifikat bisa ditebus.

”Jadi, yang melunasi sisanya itu Teh Lilis dan sertifikat rumah sudah kembali ke Amih,” lanjut Eep.

Pada Oktober 2016, Yani datang dan meminta Amih menandatangani surat pengakuan bahwa Amih berutang Rp 41,5 juta. Amih pun bersedia tanda tangan.

Pertimbangannya, Amih tidak ingin di antara anak-anaknya ribut hanya karena utang piutang. Kemudian, menurut Amih, Yani juga bilang bahwa dirinya terancam diceraikan sang suami.

Ternyata, surat tersebut dijadikan dasar untuk menagih sertifikat rumah Amih. Handoyo melayangkan surat peringatan sampai tiga kali.

Karena tidak digubris, akhirnya Januari lalu digugat secara perdata ke Pengadilan Negeri Garut dengan nilai gugatan Rp 1,8 miliar.

Salah satu alasannya, utang Asep pada 2001 dikonversikan dengan nilai emas pada tahun tersebut. Maka, pelunasannya saat ini pun membengkak.

Mediasi sempat dilakukan. Asep ngotot hanya mau mengembalikan Rp 21,5 juta karena merasa jumlah yang dia terima memang senilai itu.

Kemudian Amih bersedia menambahkan Rp 100 juta. Uang itu akan diserahkan ketika urusan penjualan rumah Amih di Ciledug selesai.

Ketika mendengar itu, lanjut Eep, Handoyo kembali berkompromi. Melalui Yani, dia bersedia menurunkan nominal utang itu menjadi separo dari harga jual rumah.

Tentu saja Amih menolak. Sebab, hasil penjualan rumah tersebut sudah dia tetapkan bakal dibagi rata untuk 13 anak.

Saat ini sudah ada pembeli yang setuju membeli rumah itu dengan harga Rp 1,5 miliar.

Eep menambahkan, sidang gugatan tersebut sudah berlangsung enam kali.

”Kamis depan (30/3) sidang ketujuh untuk menghadirkan bukti-bukti. Kita lihat apa dia punya bukti kuat,” lanjutnya.

Bagaimanapun, Amih tidak punya utang sepeser pun. Dia hanya ingin menalangi utang Asep kepada Yani agar keluarga tetap utuh.

Sementara itu, Yani belum bisa dikonfirmasi mengenai kasus tersebut.

Saat ini dia tinggal di Jakarta Timur. Jawa Pos mencoba menghubungi dua nomor yang diberikan Lilis.

Pada kesempatan pertama, seorang perempuan mengangkat telepon dan menyatakan salah sambung. Dia mengaku bernama Fatimah.

Pada nomor kedua, pihak yang menerima suaranya sama persis dengan nomor pertama. Dia menyatakan salah sambung dan langsung menutup telepon.

Ketika dihubungi via WhatsApp, permohonan konfirmasi dari Jawa Pos juga hanya dibaca dan tidak dijawab. Kuasa hukum Yani hingga kemarin juga belum bisa dikonfirmasi.

Meski demikian, Amih terlihat tabah menjalani gugatan tersebut. Dia hanya menginginkan keluarganya utuh kembali.

”Terakhir ketemu Yani ya waktu dia minta tanda tangan surat itu,” ujarnya.

Saat ditanya penyelesaian seperti apa yang diinginkannya, Amih hanya mengatakan ingin persoalan tersebut cepat selesai. Tentunya dengan cara kekeluargaan.

Dia juga tidak marah sedikit pun kepada Yani, yang dia kandung sembilan bulan, susui, dan rawat sejak masih bayi.

”Tiap kali salat, saya selalu berdoa semoga dia (Yani) mendapat hidayah Tuhan, supaya insaf,” ucapnya lirih. (*/oki)

 


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler