Digugat di MK, Perppu Pilkada Belum Aman

Rabu, 17 Desember 2014 – 05:15 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Sinyalemen persetujuan mayoritas fraksi di DPR terhadap Perppu Pilkada Langsung belum membuat posisi pemerintah aman. Di Mahkamah Konstitusi (MK), permohonan uji formil masih terus berjalan dan tidak tertutup kemungkinan dikabulkan.

Dalam sidang lanjutan gugatan Perppu Pilkada yang digelar Selasa (16/12), MK mengagendakan mendengar keterangan dari presiden, yang dalam hal ini diwakili Kemendagri dan Kemenkum HAM. Dalam naskah keterangan sembilan halaman tersebut, presiden memohon majelis hakim menolak seluruh gugatan para pemohon.

BACA JUGA: Kejagung Hanya Tarik Jaksa yang Sudah 10 Tahun di KPK

Presiden merujuk pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan, hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan perppu. "Penekanannya pada aspek kebutuhan hukum yang bersifat mendesak atau urgensi yang terkait waktu yang terbatas," terang Dirjen Perundang-undangan Kemenkum HAM, Wicipto Setiadi saat  menyampaikan keterangan pemerintah di depan persidangan MK.

Wicipto menguraikan tiga unsur yang bisa menimbulkan kondisi "kegentingan yang memaksa", yakni ancaman yang membahayakan, kebutuhan yang mengharuskan, dan keterbatasan waktu. Dalam kondisi tersebut, presiden memiliki hak subjektif untuk menetapkan perppu. Objektivitas subjektivitas itu selanjutnya dinilai DPR.

BACA JUGA: Puan Ajak Lemhanas Sebarkan Trisakti dan Revolusi Mental

Dalam hal Perppu Pilkada, Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2004 tentang Pilkada dinilai belum memenuhi keinginan masyarakat untuk memilih kepala daerah secara langsung. Selain itu, regulasi tersebut mencabut UU sebelumnya yang mengatur pilkada langsung. Akibatnya, terjadi kekosongan hukum dalam penyelenggaraan pilkada langsung.

"Kekosongan hukum itu tidak dapat diatasi dengan membuat undang-undang biasa karena perlu waktu lama," lanjut Wicipto. Karena itu, untuk mengisi kekosongan hukum pilkada langsung, dibentuklah perppu.

BACA JUGA: Ingatkan yang Berani Beda Misi dengan KPK Bakal Terpental

Keterangan tersebut langsung ditanggapi hakim konstitusi Patrialis Akbar. Mantan menteri hukum dan HAM itu menanyakan sejumlah hal. Di antaranya ukuran keinginan masyarakat yang mendasari penganuliran UU Pilkada.

Selain itu, Patrialis juga meminta penjelasan lebih detail mengenai keadaan mendesak. Persoalan ketiga yang dimintakan jawaban adalah kekosongan hukum.

"Bukankah perppu ini diterbitkan bersamaan dengan undang-undang yang baru tentang pilkada disahkan presiden? Kekosongan hukum yang mana yang dimaksud pemerintah?" tanya dia.

Patrialis juga mempertanyakan alasan saat finalisasi RUU Pilkada, pemerintah melalui Kemendagri justru menyetujuinya. Bahkan, presiden meneken RUU tersebut menjadi UU.

Terakhir, Patrialis meminta penjelasan bagaimana proses penetapan perppu. Sebab, perppu muncul pada hari yang sama dengan pengundang-undangan UU Pilkada. "Bagaimana mekanisme perppu menurut peraturan perundang-undangan yang sebenarnya?" ucapnya.

Majelis hakim meminta penjelasan presiden terkait pertanyaan-pertanyaan tersebut diajukan secara tertulis pada sidang berikutnya. "Untuk itu, sidang akan dilanjutkan pada 8 Januari 2015," ujar Ketua MK Hamdan Zoelva seraya mengetuk palu tiga kali.(byu/c9/fat)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Indonesia Butuh 5 Juta Kantong Darah


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler