Diguyur Hujan, Mandi Safar Tetap Sakral

Kamis, 18 Desember 2014 – 02:12 WIB

jpnn.com - SAMPIT – Cuaca tak bersahabat mewarnai pelaksanaan tradisi mandi safar di Kota Sampit, Kalteng, Rabu (17/12). Meski diguyur hujan deras pelaksanaannya tetap sakral. Masyarakat tetap antusias mengikuti agenda wisata tahunan yang dilakukan di Sungai Mentaya itu.

“Meski hujan, saya tetap ikut mengingat acara ini hanya setahun sekali. Kapan lagi bisa ramai-ramai nyemplung ke Sungai Mentaya bersama warga lainnya,” ungkap Ojan, salah seorang warga Baamang.

BACA JUGA: Malam Tahun Baru, Kafe dan Warung Kopi Diminta Tutup Lebih Awal

Pantauan Radar Sampit (Grup JPNN), peserta mandi safar kali ini memang tak sebanyak tahun-tahun sebelumnya, dikarenakan hujan deras yang terjadi saat itu.

Kendati demikian, ribuan warga, tetap tumpah ruah memadati kawasan Dermaga Habaring Hurung di areal Pusat Perbelanjaan Mentaya (PPM), baik yang ikut mandi atau pun yang sekadar menonton secara langsung tradisi tahunan itu.

BACA JUGA: Target Nikahkan 200 Pasutri

Seperti diketahui, mandi safar tersebut merupakan tradisi lama yang hingga kini tetap dilestarikan masyarakat Kotim. Tradisi itu, dilaksanakan setiap hari Rabu terakhir di Bulan Safar (penanggalan hijriah) yakni dengan bercebur ke Sungai Mentaya.

Mandi dengan bercebur ke sungai mengandung filosofi membersihkan diri dari hal-hal negatif, sehingga diharapkan bisa terhindar dari berbabagi bencana dan kesialan seiring dengan bersihnya badan setelah mandi bercebur ke Sungai Mentaya.  

BACA JUGA: Dipicu Tagih Angsuran Kredit, Dua Kelompok Saling Serang

Pemerintah daerah setempat berkeinginan, dengan dilaksanakannya mandi safar dapat memperkenalkan daerah itu di mata nasional maupun internasional. ”Saya ingin  dengan adanya budaya mandi safar ini menjadi promosi pariwisata Kotim untuk bisa diketahui oleh dunia luar,” ujar Bupati Kotim Supian Hadi.

Plt Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kotim Yahya menjelaskan bahwa mandi safar sudah ada sejak 10 tahun silam. Dimana sebelum diadakan sudah disepakati bersama antara para ulama dan tokoh adat di Bumi Habaring Hurung ini.

“Kesepakatan para ulama dan tokoh adat, mandi safar ini bukan ritual keagamaan. Ini hanya seremoni rutin turun-temurun,” katanya.

Prosesi mandi safar itupun, sambung Yahya, sangat sederhana yakni, masyarakat yang ingin mandi bercebur ke sungai mentaya diberikan daun sawang sebagai syarat supaya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. “Mandi safar itukan hanya untuk membersihkan diri dari sifat kebencian, keangkuhan maupun menang sendiri. Bukan acara ritual keagamaan,” tegas mantan Camat Cempaga ini.

Dengan adanya wisata budaya mandi safar ini, lanjutnya, kunjungan wisata yang ingin melihat lebih dekat mengenai kebudayaan yang dimiliki Kotim diharapkan kedepannya semakin meningkat.

“Terima kasih atas dukungan semua pihak sehingga kegiatan ini berjalan sukses dan lancar,” ucapnya. (oes/fin/ton)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kota Langsa dan Aceh Timur Dikepung Banjir


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler