jpnn.com - GEDUNG serbaguna milik Desa Bangah benar-benar sesuai namanya, berguna untuk beragam keperluan warga. Bisa untuk pertemuan, hajatan, atau saat banjir melanda desa, gedung itu jadi tempat mengungsi warga.
Ya, selama dua hari terakhir gedung itu memang jadi jujukan warga yang terusir dari rumahnya oleh banjir. Gedung tersebut menjadi tempat penampungan pengungsi karena posisinya lebih tinggi daripada jalan. Karena itu, ia menjadi satu-satunya bangunan yang tidak kemasukan air.
BACA JUGA: Merasakan Malam Terakhir Lokalisasi Dolly sebelum Ditutup Selamanya
Gedung itu bagai bangunan yang tegak di tengah danau. Rumah-rumah di sekitarnya digenangi air. Jalanan pun kebanjiran.
Bahkan, ketinggian air di halaman gedung yang cukup tinggi itu mencapai paha orang dewasa. Di depan gedung terlihat tiga perahu karet untuk mengevakuasi warga. Juga dua unit mobil milik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sidoarjo.
BACA JUGA: Delpas Band, Bukti Bebasnya Kreativitas Para Penghuni Penjara
Rabu malam (19/6) gedung serbaguna itu sesak oleh pengungsi. Sekitar 50 orang warga –baik dewasa, balita, maupun lanjut usia (lansia)– memilih tidur di gedung tersebut.
Namun, di tempat pengungsian itu, tidak semua warga benar-benar bisa memejamkan mata. Hatinya tertinggal di rumah yang terendam banjir.
BACA JUGA: Orang Tua Tidak Mau Daffa Berprofesi Artis
Kakek Rebi misalnya. Dia terlihat berlama-lama duduk di pintu gedung serbaguna. Matanya menatap genangan air yang tidak kunjung surut. Saat ditanya, dia tidak bereaksi atau hanya diam. ’’Dia ingin pulang. Sejak tadi terus minta pulang,” kata Reni, istri Ali Mas’ud, ketua RW 2 Desa Bangah.
Bukan hanya Rebi yang gelisah karena memikirkan rumahnya. M. Ridwan juga terlihat tidak nyaman tinggal di pengungsian. Pria 81 tahun itu tidak bisa lelap.
Bahkan, saat hari telah berganti, mata Ridwan belum terpejam. Alih-alih menikmati bunga tidur, bapak empat orang anak itu malah menunggu pagi dengan makan biskuit. ”Tidak kerasan, minta pulang terus dari tadi,” kata Nany Dwiyana, keluarga Ridwan.
Ridwan tinggal di tempat pengungsian sejak pagi, sedangkan Nany baru tiba sore. Dua anaknya turut mengungsi. Sebab, genangan air di rumahnya cukup tinggi.
Rata-rata warga memilih mengungsi karena rumahnya tidak bisa ditempati. Air masuk ke rumah hingga setinggi lutut orang dewasa. Mereka tidak mungkin tidur di atas dipan yang dikelilingi air. Bisa-bisa mereka masuk angin, kemudian sakit.
Alasan itulah yang membuat Ridwan dievakuasi ke pengungsian. Dia membawa perlengkapan yang cukup. Di samping tempat Ridwan tidur, ada termos air panas, kopi dalam botol, camilan, dan air mineral. Tidak ketinggalan rokok kesukaannya.
Nany bercerita, Ridwan diungsikan karena khawatir banjir makin besar. Kekhawatiran itu akhirnya terbukti. Sebab, makin lama air yang menggenangi RT 14, RW 2, kampung mereka, semakin tinggi.
Karena itu, Nany akhirnya juga menyusul Ridwan mengungsi. ”Untung, anak-anak sudah ujian. Kalau belum, pasti repot karena sejak banjir ini mereka tidak masuk sekolah,” kata perempuan 44 tahun itu.
Dia berharap banjir segera surut sehingga mereka bisa kembali ke rumah. Harapan yang sama diutarakan Madali. Laki-laki 63 tahun itu juga ingin pulang. ”Kalau sekarang tidak bisa, airnya masih tinggi,’’ ujarnya.
Agar harta bendanya aman, Madali menaruhnya di meja atau lemari. Tempat tidurnya juga diganjal bata paving susun tiga agar tidak terendam air.
Kakek enam orang cucu itu mengatakan, selama 33 tahun tinggal di Desa Bangah baru kali ini mengalami banjir cukup parah yang memaksanya mengungsi. ”Tahun 1991 memang pernah banjir dengan air yang tinggi juga. Tapi, cepat surut dan tidak sampai berhari-hari seperti ini,” kenangnya.
Kala itu, kenang dia, warga tidak sampai mengungsi. Bapak tiga anak tersebut juga mengaku masih bisa beraktivitas seperti biasa. Tapi, sekarang banjir yang cukup besar datang lagi. Bedanya, kali ini Madali harus mengungsi.
Dia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab, kedua kakinya kini lumpuh. Di pengungsian, kaki Madali yang lebih kecil daripada ukuran normal hanya ditutupi kain sarung putih. Dia tidur dengan hanya memakai kaus dalam. ’’Supaya tidak kepanasan,’’ katanya.
Di dekat kaki kiri Madali terdapat pispot (tempat untuk kencing) yang dibungkus kresek hitam. Dia tidur hanya beralas tikar dan perlak.
Barang bawaan Madali memang tidak banyak. Hanya beberapa pakaian dan perlengkapan penting. Di atas bantalnya, ada dua butir kentang rebus yang telah dikupas.
Di sebelah Madali, Mawati –istri tercintanya– tidur. Perempuan 55 tahun itulah yang selama ini merawat Madali.
Pasangan tersebut dievakuasi ke pengungsian dengan menggunakan mobil BPBD. Menurut Madali, baru dua tahun terakhir dirinya tidak bisa berjalan. Penyebabnya stroke. Awalnya, kakinya masih bisa melangkah meski harus menggunakan kruk. ’’Saya jatuh saat membetulkan plafon,” ujarnya.
Akibatnya, pinggangnya patah. Sejak itu dia tidak mampu berjalan normal.
Setelah memiliki kruk, Madali bisa jalan lagi. Semangat untuk sembuh sangat tinggi. Bahkan, dia masih sanggup membantu istrinya berjualan nasi. Madali juga masih bisa jalan-jalan di lingkungan.
Namun, musibah datang lagi. Dia terjatuh dan masuk ke got. Sejak itulah kedua kakinya tidak lagi bisa melangkah. Namun, semangatnya tetap membara.
Dia dan istrinya berhasil menyekolahkan ketiga buah hatinya sampai mereka bisa bekerja. ”Setelah anak-anak lulus semua, kami berhenti jualan,’’ lanjut Madali.
Sekitar tiga tahun lalu, hidup dia dan istri ditopang anak-anaknya. Tapi, kala sedang tidak repot, Mawati justru mendapat cobaan. Dia terkena diabetes. Kadar gulanya tinggi.
Setiap hari dia harus menyuntikkan insulin. Karena itu, saat mengungsi, peranti medis itu juga dibawa. ”Kalau saya tidak bawa obat, tidak dikasih obat,” katanya terus terang. Meski telah berupaya memejamkan mata, Madali tidak juga terlelap.
Lamiyati, pengungsi lain, juga tidak bisa memejamkan mata. Rasa kantuk dan lelah dikalahkan kasih sayangnya terhadap dua buah hatinya yang ikut mengungsi. Perempuan 39 tahun itu sibuk meninabobokan Natasya Febriyanti, 4, dan Nabila Jualianti, 2,5.
Dia juga ingin memastikan badan anak-anaknya tidak menjadi ”bancakan” nyamuk-nyamuk nakal. ”Nyamuknya banyak sekali, besar-besar lagi,’’ ucapnya.
Untuk melindungi anaknya dari gigitan nyamuk dan dinginnya malam, Lamiyati hanya punya kain hijau tipis untuk Nabila dan handuk kecil pink yang ditelungkupkan di tubuh Natasya. Keduanya tertidur pulas di atas tikar dan selimut kuning bermotif boneka. ”Tidak bisa bawa barang banyak. Semua baju di rumah basah,” lanjut perempuan asli Nganjuk itu.
Bahkan, dua buah kain gendong turut kena air banjir. Kain itu dijemur di tangga aluminium di dalam gedung. Pakaian anak-anak hanya disimpan dalam tas kresek.
Sebelum mengungsi ke gedung serbaguna, Lamiyati menginap di rumah tetangga. Dia tidak sendirian. Tetangga lain melakukan hal yang sama. Selasa malam mereka masih aman. Tapi, saat bangun Rabu dini hari, air sudah menggenang. Bahkan, saat ,terbangun bajunya sudah basah.
Mengungsi bukan satu-satunya cerita warga Bangah yang terkena musibah. Salah seorang warga yang punya hajat terpaksa menerima tamu di halaman dan jalanan yang tertutup air.
Tamu yang datang pun tidak memakai alas kaki. Saat menyantap hidangan, kaki mereka nangkring di penyangga kursi. ”Warga yang mengungsi bertambah lagi. Hari ini (kemarin, Red) ada enam KK yang ke sini,” ujar Reni.
Desa Bangah terdiri atas 4 RW dan 24 RT. Banjir yang paling parah terjadi di RW 2. Sebagian besar kediaman 245 KK terendam banjir. Bahkan, rumah-rumah milik warga di RW 1, RW 3, dan RW 4 juga terkena dampak.
Namun, tidak semua mengungsi untuk menghindari banjir. Ada yang bertahan di rumah dengan alasan menjaga barang. Mereka berharap banjir segera berakhir. (Maya Apriliani/c6/ib)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sabet Adiwiyata hingga Green School Award
Redaktur : Tim Redaksi