Sabet Adiwiyata hingga Green School Award

Senin, 16 Juni 2014 – 07:56 WIB
TIDAK SEKADAR MENTERENG: Bangunan SMPN 11 yang desainnya menerapkan prinsip lingkungan. Foto: Frizal/Jawa Pos

jpnn.com - SEBAGIAN besar wilayah Surabaya Utara dikenal sebagai lingkungan yang kumuh. Cap kemiskinan dan ekonomi tertinggal melekat pada kawasan itu. Salah satunya Semampir. Ia dikenal sebagai kantong kemiskinan paling tinggi di kota ini. Jika kawasan tersebut tidak segera dibenahi, masyarakatnya bisa tertinggal. Termasuk bidang pendidikan.

Apalagi kawasan itu hanya mempunyai satu SMP negeri. Yakni, SMPN 11. Empat tahun lalu SMPN 11 satu lokasi dengan SDN Ujung di Jalan Sawah Pulo. Areanya sempit, kumuh, dan tidak teratur. Seolah tidak ada potret pendidikan yang bisa dibanggakan oleh masyarakat setempat.

BACA JUGA: Pejuang Penyelamat Anak-anak di Lokalisasi Jarak

Namun, sejak awal 2010, pemkot bertekad merehab sekolah ’’pinggiran’’ itu. Langkah awalnya, pemkot mencarikan lokasi yang representatif untuk berlangsungnya proses belajar mengajar. Lokasi yang dipilih adalah Lapangan Dwikora yang pada saat itu menjadi tempat mangkal ratusan becak di kawasan Surabaya Utara. Jaraknya hanya sekitar 300 meter dari SMPN 11.

Lapangan tersebut kumuh, tidak tertata, serta rawan kejahatan. Area itu juga menjadi semacam WC umum bagi masyarakat sekitar. Sebab, banyak warga sekitar yang belum mempunyai MCK. Maka tidak heran, pada saat pengerukan lahan, kotoran manusia menumpuk di sana.

BACA JUGA: Belajar Soal-Soal di Internet, Tiga Mapel Dapat Nilai 10

Waktu itu tidak mudah bagi pemkot meyakinkan masyarakat sekitar bahwa lahan tersebut akan disulap menjadi sekolah. Protes pun berdatangan. Namun, pemkot kukuh membangun sekolah di sana. Masyarakat Surabaya Utara harus punya pride di bidang pendidikan.

Kepala SMPN 11 Akhmad Suharto mengatakan, pembangunan sekolah pun dimulai. Tidak sampai dua tahun, bangunan megah di atas lahan sekitar 1 hektare didirikan. Kini SMPN 11 sudah empat tahun berdiri megah di sana. Bangunannya tiga lantai.

BACA JUGA: Tersinggung Berat Dipanggil Mister Monkey

Tak sekadar bangunan sekolah pada umumnya, sekolah itu berupaya menerapkan konsep green building. Ia meminimalkan penggunaan AC dan lebih memaksimalkan pencahayaan alami. Atap sekolah dibikin tinggi sehingga ruang kelas mendapat pencahayaan dan udara yang maksimal. Desain sekolah memang sengaja dibikin demikian.

Harto, sapaannya, mengatakan, seluruh pihak bekerja keras untuk mengubah lingkungan itu. Termasuk warga sekitar. Mulai RT, RW, lurah, hingga camat mempunyai kontribusi untuk mengembangkan sekolah tersebut. Terutama untuk lingkungannya. Setiap Jumat warga sekitar rutin membantu bersih-bersih lingkungan sekolah.

Bantuan berbagai jenis pohon juga diberikan warga dan Tunas Hijau. Mereka kompak menanamnya di area sekolah. ”Seluruh stakeholder berperan dalam pengembangan sekolah kami. Tanpa mereka, mustahil SMPN 11 menjadi sebesar ini,” ungkap pria kelahiran 1961 itu.

Hasilnya berbuah manis dalam setahun terakhir ini. SMPN 11 meraih berbagai penghargaan di bidang lingkungan. Di antaranya, juara 1 kantin sehat tingkat Surabaya tahun ini. Salah satunya berkat pengolahan air limbah atau semacam water treatment pada kantin sekolah.

Water treatment adalah sebuah sistem yang difungsikan untuk mengolah air baku yang kurang bagus menjadi kualitas air pengolahan yang standar atau diinginkan.

Dalam waktu yang hampir bersamaan, SMPN 11 juga menyabet juara 1 Adiwiyata tingkat Jatim. Baru-baru ini, bersama SDN Sememi, SDN Kaliasin 1, SMPN 16, dan SMKN 10, SMP itu berhasil meraih Green School Award 2014. Penghargaan tingkat nasional tersebut diberikan Kementerian Lingkungan Hidup (LH). Rencananya, penghargaan itu akan diterima SMPN 11 dan empat sekolah lainnya di Surabaya pada Rabu (18/6) di Jakarta.

Salah satu dasar pemberian penghargaan itu adalah SMPN 11 berhasil mengubah image sebagai lingkungan kumuh menjadi sekolah yang peduli dengan lingkungan. ”Jadi, ini tidak sekadar menyulap sekolah menjadi hijau. Tapi, bagaimana mengubah mindset masyarakat sekitar terhadap kebersihan lingkungan,” ucap pria asli Magetan itu.

Awalnya, respons masyarakat terhadap kegiatan sekolah masih kurang. Namun, pendekatan terus dilakukan sekolah. Warga sekitar kerap dilibatkan saat ada kegiatan di sekolah. Komunikasi sekolah dan warga pun menjadi lancar.

Kini perhatian warga sekitar sangat besar. Salah satu contoh, mereka memperlebar akses jalan menuju sekolah tersebut. ”Dulu akses jalan ke sini hanya bisa dilalui satu mobil. Sekarang lihat saja sendiri, cukup lebar. Bisa dilewati lebih dari dua mobil,” ungkapnya senang.

Di internal sekolah, satu per satu kegiatan berbasis lingkungan dilakukan. Salah satunya menyulap kantin sekolah. Tidak hanya kebersihannya yang dijaga, kesan hijau pun diciptakan. Cat kantin diubah hijau. Aneka tanaman tersebar di sudut-sudut ruangan. Kantin itu juga sudah bebas dari 5P. Yaitu, penyedap, pemanis, pengenyal, pewarna, dan pengawet.

Di situ juga sudah tidak ada penggunaan plastik. Sampah yang bersifat merugikan itu tidak diperbolehkan berada di area kantin. ”Tidak ada gelas plastik. Pakai gelas biasa. Begitu juga bungkus makanan. Memakai kertas,” jelas bapak satu anak tersebut.

Air limbah dari kantin juga dimanfaatkan siswa. Mereka mengolahnya untuk menyiram tanaman. Tiap dua minggu sekali, dinkes dan puskesmas juga memantau jajanan di sekolah tersebut.

Terbukti bersih dan sehat, predikat sebagai kantin sehat akhirnya disematkan pada kantin SMPN 11. Pada peringatan HUT Ke-721 Surabaya beberapa waktu lalu, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini memberikan penghargaan kepada sekolah itu.

Di antara semua upaya tersebut, yang paling sulit memang mengubah kebiasaan siswa. Harto mengatakan, dibutuhkan waktu tiga tahun untuk membuat siswa ikut peduli terhadap lingkungan. Kini boleh dibilang satu per satu inisiatif untuk membuat lingkungan sehat datang dari siswa.

Misalnya, memanfaatkan limbah air wudu untuk water treatment. Siswa juga membuat kolam lele. Limbahnya dipakai untuk menyirami tanaman. Hasil budi daya lele dipakai untuk membuat abon dan pentol lele. Produk itu lalu dijual. Hasil penjualan digunakan untuk membiayai serangkaian kegiatan OSIS.

Di sebelah kolam lele, berdiri green house. Aneka tanaman ada di sana. Semua tanaman di situ bisa dimanfaatkan siswa. Bahkan, para siswa juga memanfaatkan kulit telur ayam sebagai pupuk tanaman.

Harto berharap perubahan tersebut bisa memotivasi sekolah pinggiran lainnya untuk berkreasi. Memang tidak mudah. Tapi, dia yakin sekolah pinggiran pun tetap bisa berprestasi. (Titik Andriyani/c6/dos)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pilih yang Inspiratif, Mengaku tak Pernah Ikut Casting


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler