Dilarang Bu Susi, Jual Beli Sembunyi-sembunyi

Senin, 16 Januari 2017 – 06:05 WIB
Nelayan. Ilustrasi Foto: Yerry Novel/JPNN.com

jpnn.com - jpnn.com - Banyak nelayan di Pantai Malang Selatan yang memburu benur (benih) lobster, dalam dua bulan terakhir ini.

Padahal, itu dilarang keras oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1/2015 tentang Penangkapan Lobster, Kepiting, dan Rajungan.

BACA JUGA: Punya Banyak Utang, Nelayan Masih Ingin Pakai Cantrang

Tapi kenapa para nelayan tetap nekat? Inilah hasil investigasi tim Jawa Pos Radar Malang.

Malam menunjukkan pukul 22.45 saat belasan perahu terlihat diombang-ambingkan ombak di pesisir Pantai Ungapan, Sabtu lalu(7/1).

BACA JUGA: Bu Susi Tambah Seksi ketika...

Kehadiran perahu tersebut tampak dari kilatan lampu sorot perahu yang jaraknya sekitar 300 meteran dari bibir pantai. Suasananya bahkan mirip pasar apung.

Ya, keberadaan para nelayan tersebut untuk mencari benur lobster yang tengah mewabah di sepanjang pesisir Malang Selatan.

Mulai dari kawasan Pantai Sendangbiru, Ungapan, Bajulmati, hingga Pantai Balekambang.

Berangkat melaut sore hari, para nelayan umumnya pulang dini hari antara pukul 04.00–05.00. Agar aktivitasnya tak terendus, mereka tetap membawa peralatan memancing.

”Sudah dua bulan terakhir, banyak yang mencari benur (bibit) lobster. Dalam semalam, mereka yang beruntung bisa mendapatkan hingga ratusan ekor benur,” terang salah seorang nelayan, warga Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang itu.

Dalam keremangan malam menjelang dini hari, Jawa Pos Radar Malang melihat tiga nelayan yang menumpang perahu tempel, merapat di dermaga lama Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pondokdadap.

Seorang nelayan yang duduk paling depan tampak resah. Beberapa kali dia mengurungkan niatnya mengangkat bungkusan plastik, meski perahunya sudah bersandar.

Penyebabnya, ada tiga pemuda di bibir dermaga yang sudah menunggunya untuk turun dari perahu karena ingin membeli ikan.

Setelah lima menit berlalu, tiga pemuda tersebut akhirnya merasa kehadiran mereka tak diinginkan nelayan itu. Mereka pun beringsut pergi.

Mengetahui ’pengganggu’ telah pergi, nelayan yang sudah mengangkat plastik itu langsung naik ke dermaga dan menuju parkiran sepeda motor.

Radar Malang sempat mengikuti nelayan yang menenteng plastik di tangan kanan dan seekor lobster di tangan kirinya itu.

”Lobsternya apa mau dijual, Mas?” Pertanyaan Jawa Pos Radar Malang itu pun buru-buru dijawab tidak.

Saat ditanya apakah bungkusan plastik tersebut ikan yang mau dijual, spontan dia menyebut itu adalah benur.

Nelayan yang bercelana pendek dan berkalung sarung itu lantas bergegas menemui seseorang di parkiran, yang sudah menunggunya di sepeda motor. Tanpa banyak bicara, bungkusan plastik tersebut berpindah tangan.

Salah seorang nelayan yang enggan disebutkan namanya itu menyatakan, jual beli benur lobster dari nelayan ke pengepul memang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

”Begitu nelayan datang, ada orang khusus yang mengambil benur,” bebernya.

Selain menggunakan kantong plastik, para nelayan biasanya memakai wadah bekas air mineral sebagai tempatnya.

Karena ukuran benur cukup kecil, botol plastik bekas air mineral yang berukuran satu liter saja bisa menampung hingga ratusan benur lobster.

Di kawasan Sendangbiru saja, sedikitnya ada tiga orang yang menjadi pengepul.

Mereka disebut-sebut sudah memiliki buyer (pembeli) dari luar kota yang langsung datang saat jumlah benur yang ditampung telah mencapai ribuan ekor.

”Tapi, bosnya pengepul tidak mau mengambil di Sendangbiru. Biasanya, benur lobster dikirim pengepul ke wilayah Kota Malang atau Pasuruan. Tempatnya selalu pindah-pindah sesuai perintahnya bos pengepul,” tambah dia.

Sedangkan para nelayan itu sendiri mendapat jaminan dari pengepul.

Selain jaminan bakal membeli semua benur yang didapat nelayan, mereka juga berani mengeluarkan modal awal bagi nelayan untuk melaut.

Sebelum berangkat mencari benur, para nelayan juga dipinjami perlengkapan dan juga bisa meminjam uang.

Peralatan untuk menangkap benur, biaya solar, rokok, dan lain-lainnya juga dipenuhi.

”Nanti setelah dapat benur, tinggal dipotong uang pinjamannya saja,” bebernya.

Meski mengetahui perburuan benur dilarang, tapi mereka tetap nekat karena selama dua bulan terakhir, praktik itu aman-aman saja.

Meskipun diakui, mereka juga tetap merasa takut dan deg-degan jika tiba-tiba ditangkap pihak berwajib selama mencari benur.

Namun, mereka tetap mencari benur karena pengepul menjamin pihak keamanannya sudah diatur.

Selain itu, tingginya harga bayi lobster yang dipatok pengepul, membuat banyak nelayan tergiur.

Sebab, untuk baby lobster dihargai Rp 12 ribu–Rp 15 ribu per ekor. Jika dalam semalam bisa mengumpulkan 500 ekor saja, nelayan mengantongi minimal Rp 6 juta.

”Kalau dapat benur lobster macan atau mutiara, maka harganya bisa lebih mahal lagi per ekornya,” beber sumber yang mengaku sempat ikut-ikutan mencari benur ini.

Perburuan baby lobster di pesisir Malang Selatan ini sebenarnya sudah diendus Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Timur.

Karena sebelumnya, pencarian benur yang masuk kategori ilegal tersebut sudah berlangsung di banyak tempat. Mulai dari wilayah Banyuwangi, Tulungagung, Trenggalek, dan pesisir Pacitan.

”Memang sudah ada indikasi, mulai banyak yang mencari baby lobster di pesisir Malang Selatan,” terang Nur Andriono, pengawas konservasi laut DKP Provinsi Jawa Timur saat dihubungi via handphone.

Menurut dia, pencarian benur lobster termasuk kegiatan ilegal alias dilarang berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1/2015 tentang Penangkapan Lobster, Kepiting, dan Rajungan.

”Untuk jenis lobster yang boleh ditangkap dengan ukuran berat di atas 200 gram,” terangnya.

Otomatis, lobster yang ukurannya kurang di bawah 200 gram dilarang untuk ditangkap.

Sementara itu, Ketua Malang Selatan Rescue Sutari tak menampik banyak nelayan yang berburu benur lobster dua bulan terakhir.

”Kepada nelayan yang saya kenal, sudah diingatkan kalau mencari benur lobster itu dilarang. Tapi kalau mereka tetap mencari, ya mau bagaimana lagi,” ujarnya.

Dia sendiri merasa prihatin dengan banyaknya nelayan yang berburu baby lobster. Sebab, sebagai pencari ikan dan lobster di sela-sela tugasnya menjadi tim search and rescue (SAR), dia khawatir keberadaan lobster bakal punah.

”Kalau bukan kita yang menjaga keberadaan benur lobster itu, dua tiga tahun ke depan stoknya bisa habis,” terangnya.

Guru besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Brawijaya (UB) Prof Sukoso menilai, maraknya penangkapan dan penjualan baby lobster terjadi karena lemahnya pengawasan pemerintah.

”Selama ini monitoring dan evaluating (monev) di pemerintah kita memang lemah. Padahal, itu (penangkapan dan penjualan baby lobster) dilarang,” tegasnya.

Dia menilai, pemerintah maupun petugas keamanan tidak menjalankan fungsinya dengan maksimal. Sehingga praktik ilegal ini tetap berlanjut.

Menurut Sukoso, ada beberapa faktor yang memengaruhi sehingga praktik tersebut tetap berjalan.

”Bisa jadi para nelayan tidak tahu kalau itu dilarang. Namun, ada faktor ekonomi juga karena uang dari menjual benur lobster ini kan cepat berputar,” kata Sukoso.

Nah, alasan tidak tahu inilah sehingga pemerintah harus mengedukasi para nelayan. Sama halnya yang alasan ekonomi itu, juga harus diberikan pengertian.

”Mereka yang melakukan jalan pintas dengan menangkap dan menjual baby lobster, tidak pernah memikirkan dampaknya, seperti itu juga harus diarahkan,” ungkap dia.

Apa dampaknya jika perburuan baby lobster tak ditertibkan?

”Mereka saat ini hanya mencari dan menjual saja, lama-lama stoknya pasti akan habis. Tentunya akan sangat susah untuk mencari lobster pada masa mendatang,” papar Sukoso.

Selain itu, praktik itu akan memengaruhi ekosistem laut, karena keberadaan lobster juga cukup penting.

Apalagi hingga kini belum ada teknologi yang bisa melakukan pembenihan lobster secara masal.

”Karena tidak bisa memproses itu (pembenihan), jika diambil terus-terusan bisa malah mendegradasi dan keberadaannya akan hilang di laut. Nah, ini harus ada kehati-hatian,” tukas Sukoso. (nay/haf/adk/c2/lid)

 


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler