Dinasti Politik Membangun Keterbelakangan Demokrasi

Kamis, 02 November 2017 – 23:42 WIB
Pilkada. Ilustrasi: dokumen JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Profesor Komunikasi Politik Universitas Pendidikan Indonesia Karim Suryadi mengkritik fenomena politik dinasti yang masih subur saat ini. Secara spesifik dia menyinggung calon kepala daerah yang berstatus istri dari petahana.

Karim mencontohkan fenomena tersebut di Pilkada di Jawa Barat. Munculnya istri Bupati Kabupaten Bandung Barat Abu Bakar, Elin Suharliah, sebagai calon kepala daerah dinilai merupakan langkah mundurnya demokrasi.

BACA JUGA: Punya Suami Sakti, Tak Pernah Muncul pun Bisa Menang Pemilu

Menurut Karim, politik dinasti bisa membangun keterbelakangan demokrasi. "Makna membangun keterbelakangan itu apa? Jangan sampai berdalih kemajuan, tapi mengambil langkah mundur," jelasnya.

Salah satu berkah demokrasi, Karim melanjutkan, "yakni memberikan kesempatan yang sama kepada semua orang untuk mencalonkan diri dan adanya jaminan di dalam kesempatan."

BACA JUGA: Duh! Jelang Pilkada, Pak Bupati Sibuk Kampanyekan Istri

Karim mengatakan, fenomena "habis suami majulah istri" dapat merusak tatanan demokrasi. Sampai saat ini, dia mencatat, "belum ada daerah yang berprestasi karena dipimpin istri yang menggantikan suami,"

Selain itu, kata Karim, politik dinasti juga mengganggu prinsip kesamaan di dalam kesempatan. "Sebab pada akhirnya akan ada main anggaran, akan ada main dengan organisasi, dan lain-lain," ujarnya.

BACA JUGA: Dorong KPK Bongkar Korupsi Melibatkan Dinasti

Pada kesempatan yang lain, pengamat politik dari Universitas Paramadina Toto Sugiarto menambahkan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Pasal 7 Undang-Undang Pilkada membuat politik dinasti tak bisa dibatasi.

Alhasil, dia melanjutkan, kepala daerah yang masih menjabat akan sangat leluasa mencalonkan keluarganya sebagai pengganti. Padahal, beban masalah dan potensi korupsi terus membayangi.

Menurut Toto, riwayat kasus yang mendera politik dinasti belum mampu memengaruhi pilihan masyarakat saat pilkada.

"Kebanyakan masyarakat itu polos, rasionalitasnya tidak sampai pada kemampuan memfilter calon dengan baik. Salah satu penyebabnya juga tidak lengkapnya informasi calon. Dinasti juga biasanya memiliki kuku kekuasaan yang kuat di masyarakat," katanya. (dil/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... KPK: Jangan Pilih Pemimpin Berasal dari Dinasti Politik


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler