Dirayu, Freeport-Newmont Tak Gubris

Tolak Empat Isi Usul Renegosiasi dari Pemerintah

Jumat, 07 Oktober 2011 – 10:28 WIB

JAKARTA – Rayuan Pemerintah Indonesia untuk mengubah isi kontrak karya dengan dua perusahaan tambang raksasa, PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara, menemui jalan buntuKedua perusahaan raksasa asa Amerika Serikat itu menolak mentah-mentah empat poin klausul yang dianggap merugikan pemerintah Indonesia tersebut.

Kebuntuan perundingan ulang (renegosiasi) tersebut semakin menambah lemah posisi pemerintah di mata para pengusaha asing yang terus menggerogoti kekayaan bumi pertiwi

BACA JUGA: NIKL Desak Terapkan SNI

Keempat klausul yang ditolak itu adalah luas wilayah kerja, perpanjangan kontrak, penerimaan negara atau royalti, dan kewajiban pengolahan dan pemurnian


”Tapi tidak ada alasan bagi Freeport dan Newmont menolak duduk bersama pemerintah membahas renegosiasi ini,” kata Deputi Deputi Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Energi, Sumberdaya Mineral dan Kehutanan, Wimpy S Tjetjep, Kamis ((6/10).

Menurut Wimpy, PT Newmont sudah menyatakan setuju terhadap beberapa klausul dalam renegosiasi kontrak, kecuali yang empat hal tadi

BACA JUGA: Clipan Finance Tawarkan Rp 500 Miliar

Sedangkan PT Freeport sempat menolak untuk berunding, tapi kemudian melunak
Hanya, perusahaan asal Amerika Serikat ini juga keberatan dengan empat klausul itu

BACA JUGA: Kawasan Berikat Minta Perlakuan Khusus

”Tapi pada dasarnya, sudah ada niat baik dari masing-masing pihak untuk berunding,” ujarnya.

Soal luas wilayah kerja, Wimpy menjelaskan, pemerintah ingin agar area yang tidak tergarap untuk dikembalikan kepada pemerintahMeskipun dalam kontrak karya dinyatakan bahwa wilayah tersebut memang milik perusahaan selama kontrak masih berlaku

”Tetapi kita minta perusahaan punya itikad baikJika tidak mungkin menggarap seluruhnya, lebih baik dikembalikan ke negaraSupaya bisa dikerjakan oleh pemerintah atau dikontrakkan kepada kontraktor lainItu lebih baik daripada lahan dibiarkan menganggur,” jelas Wimpy.

Menurut Syafrizal, Asisten Deputi Menko Urusan Pertambangan Umum, wilayah konsesi pertambangan PT Freeport yang dulu mencapai 2,6 juta hektare kini tinggal 212.950 hektareTapi yang berproduksi hanya di tambang Grassberg yang total luasnya 10.000 hektareArtinya, lebih dari 200.000 hektar menganggur

Sedangkan wilayah konsesi pertambangan PT Newmont seluas 87.540 hektare, dan wilayah yang digarap lebih kecil dari Freeport”Tapi mereka masih keberatan mengembalikan area yang menganggur kepada pemerintah,” kata Wimpy.

Dalam renegosiasi, lanjut Wimpy, pemerintah akan menggunakan klausul perpanjangan kontrak sebagai senjataKontrak karya pemerintah dengan Freeport pertama kali ditandatangani tahun 1967, dan sudah diperpanjang pada tahun 1991Kontrak karya kedua ini berlaku selama 30 tahun yaitu hingga 2021, dengan oprsi perpanjangan 2 kali masing-masing 10 tahun

Artinya, kata Wimpy, kontrak itu bisa diperpanjang dan bisa pula tidak diperpanjangYang akan menjadi pertimbangan pemerintah adalah hasil renegosiasi iniJika keberadaan Freeport dianggap menguntuhngkan, maka kontraknya akan jalan terus”Tapi kalau cuma merugikan, diminta meningkatkan royalti tidak mau, diminta melepas lahan yang tidak tergarap tidak mau, untuk apa dipelihara terus,” ketus Wimpy.

Sedangkan kontrak dengan PT Newmont berlaku sejak tahun 2000 hingga 2030Posisi pemerintah jauh lebih kuat dengan NewmontBerkat hasil divestasi, pemerintah memiliki 51 perseh saham perusahaan tambang di Nusa Tenggara iniBandingkan dengan saham pemerintah di Freeport yang hanya 8,5 persen”Meski sulit, kita akan mengupayakan divestasi FreeportPemerintah ingin kepemilikan saham yang lebih besar di perusahaan asal Amerika Serikat ini,” kata Wimpy.

Pemerintah sejauh ini masih menginginkan solusi menguntungkan bagi kedua belah pihakPemerintah tetap menghormati kontrak karya dengan Freeport yang sudah ditandatangi”Negosiasi itu bukan berarti kita memaksakan kehendak untuk merubah segala-galanyaTapi harus ada perbaikan, karena selama ini kita anggap penerimaan negara tidak signifikan,” jelas Wimpy

Contohnya, penerimaan negara atau royalti dari Freeport hanya senilai 1 persen untuk emas dan 1,5-3,5 persen untuk tembagaSementara Newmont, sejak berproduksi Desember 2010, tarif royalti untuk emas dan perak sebesar 1-2 persen (tergantung harga penjualan)Sedangkan untuk tembaga, tarif royaltinya bahkan lebih rendah dari Freeport.

Pemerintah ingin perusahaan pertambangan menaikkan royalti sesuai ketentuan PP No 45/2003Royalti untuk tembaga seharusnya 4 persen emas 3,75 persendan perak 3,25 persen”Klausul ini sangat sensitifFreeport dan Newmont belum bersedia meningkatkan royaltinya,” kata Wimpy.

Menurut Syafrizal, setiap tahun Freeport menghasilkan emas 1800 kg, perak 2,7 ton, dan tembaga 450.000 tonMeski banyak pihak meragukan data tersebutTahun lalu, total penerimaan negara dari Freeport sekitar Rp 12 triliun

Sesuai kontrak karya kedua yang berlaku sejak Desember 1991, kontribusi Freeport kepada pemerintah Indonesia lebih dari USD 12 miliar (Rp 108 triliun)Dengan harga emas yang terus menanjak, penerimaan negara itu dinilai masih sangat kecil”Penerimaan negara dari Newmont juga belum memadaiTapi kita belum terima datanya,” kata Syafrizal.

Freeport dan Newmont juga keberatan dengan kewajiban pengolahan dan pemurnian (smelting) pasir konsentrat di dalam negeri mulai 2014 sesuai UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara”Kelihatannya mereka kesulitan untuk melaksanakan 2014,” ujar Wimpy.

Menurutnya, 30 persen pasir konsentrat Freeport diolah dan dimurnikan di Gresik, sementara 70 persen langsung diekspor ke berbagai negara seperti Jepang dan SpanyolBerdasarkan UU No 4/2009, semua bahan tambang harus diolah di dalam negeri mulai 2014Sehingga Freeport dan Newmont harus membangun pabrik pengolahan di Indonesia.

”Tidak perlu Freeport dan Newmont sendiri yang membangun smelting, bisa perusahaan lainMereka bisa kerjasamaFreeport dan Newmont punya konsentratnya, perusahaan lain yang memurnikannya,” harap Wimpy(dri)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Freeport Siap Dialog Bahas Kontrak Karya


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler