JAKARTA - PT Freeport Indonesia mengklaim siap buka-bukaan soal kontrak karyaManajemen sepenuhnya membuka opsi untuk membahas kontrak karya perusahaan dengan pemerintah
BACA JUGA: Komisi XI: Service Garuda Indonesia Mengecewakan
Itu dilakukan guna memetakan kegiatan dan rencana perseroan bersama pemerintah ke depanRamdhani menyebut pihaknya akan mematuhi seluruh ketentuan yang ditetapkan pemerintah
BACA JUGA: Pemerintah Siapkan 16 Ribu Rumah Murah untuk Nelayan
Karena bagaimana pun, perseroan berada di wilayah yang dijalankan berdasar aturan dan hukum yang jelasBACA JUGA: HIPMI: Barang Impor Banjir, Pengusaha Malas Berproduksi
”Kami akan tetap menghormati dan mematuhi ketentuan-ketentuan yang termuat dalam kontrak karya,” imbuh RamdhaniMeski begitu, Ramdhani tidak mau mengungkap kapan waktu pembahasan soal kontrak karya tersebut dengan pemerintahTermasuk apakah telah menyiapkan opsi yang bakal ditawarkan kepada pemerintah dan juga mungkin beberapa aspek yang perlu dikritisi dari perubahan kontrak karya terbaru yang disodorkan pemerintah”Sekali lagi, pernyataan kami tetap membuka diri atas kegiatan, rencana, dan kontrak karya bersama pemerintah, termasuk soal royalti dan perpanjangan kontrak,” tukasnya
Memang PT Freeport hanya membayar royalti kepada pemerintah sebesar 1 persenDi samping itu, juga membayar pajak penghasilan badan sebesar 35 persenBesaran royalti itu, jauh lebih rendah jika dibanding dengan PP Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terhadap setiap badan usahaDalam aturan itu, sejatinya royalti pertambangan sebesar minimal 3,75 persen.
Sebelumnya, PT Freeport menolak melakukan negosiasi ulang kontrak karya pertambangan seperti yang diminta pemerintahSebab, menurut Freeport, kontrak itu sudah adil dan menguntungkan semua pihakSelain itu, kontrak karya yang ada saat ini masih berlakuDan, itu sudah menjadi landasan manajemen selama lebih dari empat dekade terakhir
Sebelumnya, PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) menyebut pada dasarnya perusahaan tambang memiliki semangat yang sama terkait renegosiasi kontrakSaat ini proses pembicaraan dengan pemerintah soal kontrak karya tersebut masih berlangsungMemang hal tersebut tidak mudah untuk mencapai titik kesepakatanTetapi, dengan keinginan dan niat baik secara kolektif hal tersebut akan berujung positif”Kami secara intensif terus berdialog dengan pemerintah,” tukas Martiono Hadianto, Direktur PT NNT
Sementara Ekonom dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Ichsanuddin Noorsy mengungkap sejatinya kontrak karya itu sudah bisa diterapkanSebab, renegosiasi yang sudah ada sejak 2005 itu hanya berhadapan dengan prinsip bahwa kontrak hanya dapat direnegosiasi jika kedua belah pihak sepakat"Kontrak itu tunduk pada hukum mana kan tidak jelasItu yang menjadi hambatannya,” ungkapnya
Buruknya mentalitas dan pengetahuan negosiator Indonesia membuat pemerintah takluk atas negosiator asingItu diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang menjadi batu sandungan renegosiasi kontrakDalam UU itu ditetapkan prinsip jaminan investasi dan porsi nasionalKondisi itu diperparah dengan pemerintah melakukan perjanjian bilateral dengan berbagai negara sejak 2005(far)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jasa Marga Incar Rp 4,8 Triliun
Redaktur : Tim Redaksi