Dirjen AHU: Beneficial Ownership Positif untuk Hukum dan Bisnis yang Sehat

Kamis, 15 Agustus 2024 – 19:32 WIB
Indonesia menjadi tuan rumah forum penting bertajuk 'The Regional Peer Exchange on Advancing Anti-Corruption in Southeast Asia through Beneficial Ownership Transparency'. Foto: dok Ditjen AHU Kemenkumham

jpnn.com, JAKARTA - Indonesia menjadi tuan rumah forum penting bertajuk 'The Regional Peer Exchange on Advancing Anti-Corruption in Southeast Asia through Beneficial Ownership Transparency'.

Acara ini merupakan hasil kerja sama antara United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), Stolen Asset Recovery Initiative (StAR) World Bank, Open Ownership (OO), dan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

BACA JUGA: Dirjen AHU: Perjanjian Ekstradisi ASEAN Bentuk Komitmen Melawan Kejahatan Transnasional

Pada kesempatan ini, Ditjen AHU Kemenkumham menilai data pemilik manfaat BO akhir suatu korporasi bermanfaat untuk pengembangan bisnis dan penegakan hukum di Indonesia.

Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU Kemenkumham) Cahyo R. Muzhar dalam sambutannya menekankan pentingnya transparansi kepemilikan dalam upaya bersama melawan korupsi, pencucian uang, pendanaan terorisme, dan kejahatan keuangan lainnya, termasuk pemulihan aset.

BACA JUGA: Menjelang Sesi Tahunan ke-61 AALCO, Dirjen AHU Tinjau dan Simulasikan Kedatangan Delegasi

Sejak 2018, Ditjen AHU telah mengelola data BO dari seluruh jenis korporasi di Indonesia secara elektronik.

Cahyo mengatakan bahwa sejak menjadi anggota Satuan Tugas (Satgas) Aksi Keuangan Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme atau Financial Action Task Force (FATF) pada akhir 2023, cara Indonesia mengelola basis data pemilik manfaat akhir korporasi dinilai oleh FATF.

BACA JUGA: Dirjen AHU: Pengawasan Ketat atas Notaris demi Perlindungan

"Jadi, ada kewajiban perusahaan untuk men-declare pemilik manfaat ini," ujar Cahyo kepada wartawan, Kamis (15/8).

Salah satu yang dinilai oleh FATF Adalah terkait dengan bagaimana Indonesia mengelola data dari BO atau pemilik manfaat akhir dari suatu korporasi.

Dari segi manfaat bisnis, Cahyo menjelaskan bahwa data pemilik manfaat diperlukan agar pihak yang berbisnis dengan korporasi di Indonesia mengetahui pemilik manfaat akhir dari korporasi tersebut supaya tidak berbisnis dengan entitas yang terlibat dalam tindak pidana.

Dengan demikian, imbuh Cahyo, Indonesia akan mendapatkan kepercayaan dunia, khususnya pada saat Indonesia ingin mengembangkan dan memacu perekonomian.

"Tentu investor pada saat ingin berinvestasi di Indonesia harus memastikan bahwa uangnya tidak tercampur dengan hasil tindak pidana," tuturnya.

Sementara itu, dari perspektif manfaat penegakan hukum, dia menuturkan bahwa kepentingan institusi penegak hukum Indonesia dapat dipenuhi dalam proses hukum berupa penyidikan, penuntutan, eksekusi, baik tindak pidana umum, tindak pidana khusus, maupun tindak pidana transnasional antarnegara.

Pada saat yang bersamaan, kata dia, Indonesia saat ini sedang dalam proses evaluasi oleh Bank Dunia terkait dengan kemudahan berusaha sehingga terdapat urgensi menyeimbangkan kemudahan berbisnis dan berinvestasi di Indonesia dengan keamanan berbisnis.

"Tentu investor pada saat ingin berinvestasi di Indonesia harus memastikan bahwa uangnya tidak juga tercampur dengan hasil tindak pidana," kata Cahyo

"Dengan demikian, harus mudah bisnis dan mudah investasi, tetapi juga harus dipastikan bahwa tidak ada uang atau bisnis dan investasi yang kemudian disalahgunakan untuk tindak pidana," imbuhnya.

Tindak pidana dimaksud, yakni pencucian uang (TPPU), pendanaan terorisme (TPPT), dan proliferasi nuklir.

Sementara itu, Crime Prevention and Criminal Justice Officer UNODC/StAR, Badr El Banna mengatakan pihaknya memberikan apresiasi kepada Kemenkumham dalam hal ini Ditjen AHU yang sudah mempunyai layanan BO dalam bentuk aplikasi digital.

"Kami merasa bangga untuk bekerja sama dengan Indonesia dan negara-negara di kawasan ini dalam mendukung upaya mereka, tidak hanya upaya antikorupsi secara umum, tetapi juga untuk mendukung mereka dalam merancang dan memperkuat kerangka kelembagaan dan hukum mereka terkait dengan kepemilikan manfaat," kata El Banna.

El Banna menambahkan, ada 191 negara yang dinaunginya menerapkan aturan standar UNODC. Hal ini, sambung dia, BO sangat penting untuk pengembangan bisnis dalam perspektif manfaat dalam penegakan hukum.

"Sebagai bagian dari mandat UNODC, semua negara di kawasan ini harus mematuhi standar UNODC. Sejauh ini kami memiliki 191 negara pihak yang menerapkan ketentuan konvensi itu, dan juga mendukung negara-negara dalam mengimplementasikan rekomendasi yang keluar dari mekanisme peninjauan implementasi," pungkasnya. (dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler