jpnn.com - JAKARTA – Kapal besar PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sedikit goyah. Kasus hukum yang membelit beberapa karyawan PLN membuat sang nakhoda, Direktur Utama Nur Pamudji, sempat mengungkapkan kegalauannya kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan. Dia pun ikhlas mengundurkan diri untuk diganti sosok yang lebih piawai.
Manajer Senior Komunikasi Korporat PT PLN Bambang Dwiyanto menyatakan, pernyataan tersebut tidak berarti Nur Pamudji sudah mengundurkan diri. Karena itu, dia meminta seluruh karyawan PLN tetap bekerja dengan tenang. ’’Pak Nur masih aktif, bekerja seperti biasa. Pernyataan itu kan curhat dari anak buah ke atasannya (Menteri BUMN Dahlan Iskan, Red),’’ kata Bambang seperti yang dilansir Jawa Pos (Induk JPNN), Minggu (8/12).
BACA JUGA: Kaget Dengar Kabar Pengunduran Diri Dirut PLN
Dalam pernyataan resminya, Nur mengungkapkan, pada 12 November lalu, dirinya mengirim SMS atau pesan singkat kepada Menteri BUMN Dahlan Iskan. SMS tersebut dilanjutkan dengan pertemuan langsung.
Dalam pertemuan itu, pria yang berkarir di PLN sebagai teknisi pembangkit sejak 1985 tersebut menceritakan kasus hukum yang membelit lima karyawan PLN dalam kasus pengadaan flame tube di Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Belawan, Sumatera Utara, periode 2007–2009 senilai total Rp 23 miliar.
BACA JUGA: Dirut PLN Beber Alasan Mengundurkan Diri Lewat SMS
Dalam kasus tersebut, Kejaksaan Agung menduga ada penggelembungan harga (markup) dan barang yang diterima tidak sesuai dengan spesifikasi. Akibatnya, 25 Mei 2013, lima karyawan PLN yang ditetapkan sebagai tersangka ditahan Kejaksaan Agung.
Kelimanya adalah Ketua Panitia Pemeriksa Mutu Barang PLN Ferdinand Ritonga, Manajer Produksi PLN Fahmi Rizal Lubis, mantan General Manager PT PLN Pembangkitan Sumatera Bagian Utara Albert Pangaribuan, Manajer Bidang Perencanaan PLN Edward Silitonga, serta Ketua Panitia Lelang PLN Robert Manyuazar.
BACA JUGA: FCTC Ancam Mata Pencaharian Buruh Rokok
Pada 28 November lalu, Nur Pamudji juga dipanggil Kejagung sebagai saksi. Menurut dia, sebagai direktur utama PLN, dirinya siap menindak tegas karyawan PLN yang terbukti korup. ’’Kalau ada pegawai PLN yang nyolong (mencuri, Red), terima suap, korup, saya sendiri yang akan memborgolnya,’’ tegasnya.
Meski demikian, Nur menyatakan, karyawan PLN yang sudah bekerja dengan baik dan profesional harus tetap bekerja dengan tenang. Artinya, tidak dihantui ketakutan bahwa pekerjaan mereka bakal dijerat secara hukum. ’’Karena itu, Dirut PLN harus piawai melindungi para pegawainya dari persoalan hukum. Saya pun ikhlas mundur untuk digantikan Dirut baru yang piawai tersebut agar para profesional di PLN bisa bekerja dengan tenang,’’ ujarnya.
Menteri BUMN Dahlan Iskan dengan gamblang mengungkapkan bahwa Nur merasa lima karyawan PLN itu sudah dikriminalisasi Kejagung. ’’Intinya, dia galau. Dia merasa profesi kok dikriminalisasi. Kalau begitu, siapa yang mau jadi profesi teknik?’’ katanya.
Dahlan pun bisa memahami kegalauan penerusnya di kursi Dirut PLN sejak 1 November 2011 tersebut. Menurut dia, dirinya juga pernah menghadapi risiko dipenjara saat menjabat Dirut PLN. Karena itu, dia meminta Nur tetap tenang. Dahlan pun bertekad mempertahankan Nur di kursi Dirut PLN. ’’Sekarang cari orang jujur dan bersih itu sangat sulit,’’ ucapnya.
Sebagai gambaran, pertengahan Oktober lalu, Nur mendapat penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) 2013. Penghargaan tersebut merupakan bentuk apresiasi atas program PLN Bersih No Suap. Melalui program itu, Nur dinilai berhasil mereformasi sistem pengadaan barang dan jasa serta pelayanan pelanggan PLN.
Dahlan menyatakan, dirinya sudah mendapat laporan soal kasus lima karyawan PLN yang ditahan Kejagung karena diduga korupsi tersebut. Menurut dia, pekerjaan di flame tube PLTGU Belawan sudah dilakukan sesuai dengan standard operating procedure (SOP). ’’Menurut SOP, (perbaikan) itu ditenderkan. Namun, mesin belum dibuka masih jalan. Itu ditenderkan, kemudian dibuka mesinnya. Begitu dibuka, ada (perbaikan) yang lain. Yang menentukan itu diganti itu profesi ahli,’’ jelasnya.
Sumber Jawa Pos di internal PLN yang mengetahui pengerjaan flame tube tersebut mengungkapkan bahwa PLN sudah melakukan kajian mendalam atas kasus itu. ’’Ini memang hal yang sangat teknis. Akibatnya, ada persepsi yang berbeda antara PLN dan penyidik Kejaksaan Agung,’’ ujarnya.
Dia menyatakan, pekerjaan tersebut dilakukan karena mesin pembangkit sudah waktunya diservis secara rutin (overhaul). PLN lantas melakukan tender pengadaan dan pelelangan, termasuk harga perkiraan sendiri (HPS), atas pekerjaan tersebut.
Proyek pekerjaan dengan spesifikasi Life Time Extention (LTE) Gas Turbin (GT) 2.1 & 2.2 itu awalnya akan dikerjakan PT Siemens Indonesia. Namun, harga yang diminta terlalu tinggi, Rp 843 miliar. Karena itu, PLN melakukan lelang dan akhirnya dimenangi PT Nusantara Turbine Propulis yang merupakan konsorsium Mapna (perusahaan asal Iran) yang sanggup bekerja dengan bayaran hanya Rp 400 miliar.
Pemenang lelang lantas mengerjakan. Namun, setelah mesin pembangkit dibuka, ditemukan beberapa bagian yang juga harus diservis. Karena itu, dibuatlah kontrak tambahan atau adendum untuk pekerjaan yang tidak ada dalam kontrak awal. ’’Nah, penyidik kejaksaan membandingkan nilai HPS dengan harga kontrak awal plus pekerjaan tambahan sehingga angka total kontrak terlihat lebih besar dari HPS. Itulah yang lantas diduga sebagai markup,’’ ungkapnya.
Lantas, mengapa ada bagian lain di mesin yang harus diperbaiki dan tidak diketahui PLN sebelum servis rutin dilakukan? Menurut dia, mesin pembangkit yang beroperasi dalam jangka panjang memang memungkinkan salah satu bagiannya rusak dan baru diketahui saat mesin dibuka.
’’Analoginya seperti ini. Kita servis rutin mobil di bengkel, biaya servisnya disepakati Rp 500 ribu. Tapi, setelah mesin dibuka, teknisinya menemukan onderdil yang harus diganti karena kondisinya sudah kurang bagus. Karena itu, sekalian diganti onderdilnya. Nah, total biaya servis akhirnya menjadi lebih besar dari Rp 500 ribu karena ada tambahan penggantian onderdil. Kira-kira begitu gambarannya,’’ jelasnya.
Persoalan lain yang diduga melanggar ketentuan kontrak adalah hasil pemeriksaan penyidik Kejagung terkait dengan kondisi mesin pembangkit setelah diperbaiki. Dalam kontrak, ada jaminan bahwa mesin akan mampu memproduksi listrik dalam jumlah sekian megawatt (MW) setelah perbaikan.
Ketika penyidik datang pada siang, kapasitas mesin pembangkit yang dioperasikan ternyata lebih kecil daripada ketentuan dalam kontrak. ’’Kenapa lebih kecil? Sebab, saat itu siang. Jadi, beban listrik kecil sehingga pembangkit tidak dioperasikan full (capacity), sesuai beban saja. Tapi, PLN sudah mengantongi hasil pemeriksaan dari Badan Jasa Sertifikasi yang menyatakan mesinnya memang bisa beroperasi dengan kapasitas sesuai dengan kontrak,’’ tegasnya.
Dimintai penjelasan detail soal kasus tersebut, Bambang Dwiyanto enggan berkomentar. Menurut dia, PLN menghormati proses hukum yang saat ini berlangsung di Kejagung. ’’Kami dari manajemen tentu memberikan pendampingan dan advokasi kepada karyawan agar proses hukum bisa berjalan dengan adil,’’ ujarnya. (owi/bil/c5/kim)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bidik Mahasiswa Arsitektur
Redaktur : Tim Redaksi