Disertasi Selamat setelah Bertemu Sumarlin di Lapangan Tenis

Minggu, 14 Agustus 2011 – 22:18 WIB
Jeffrey A Winters di Universitas Hasanuddin. Foto: Unhas.ac.id.
Sejak reformasi bergulir, nama Jeffrey A.Winters semakin familier di IndonesiaDia mulai "menyelami" dunia politik Indonesia secara serius saat menyusun disertasi

BACA JUGA: Apa Mau Dia, Bawa-bawa Nama Bapak?

Ternyata ada cerita menarik di dalam proses riset itu.


Laporan PRIYO HANDOKO, Jakarta

DIA selalu kritis dan kritis
Saat Soeharto berkuasa, dia mengkritik gaya otoriter pemerintah Orde Baru

BACA JUGA: Kampoeng Ramadan Jogokariyan, Ikon Jogjakarta di Bulan Suci

Kini, setelah reformasi, dia juga memberikan telaah yang kritis
Pekan lalu Winters kembali berada di tanah air untuk memberikan telaah kritis dari perjalanan demokrasi di zaman reformasi itu.

Begitu moderator menutup diskusi bertema Pengadilan Hosni Mubarak: Pelajaran untuk Indonesia di Rumah Perubahan 2.0, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, siang itu, belasan wartawan langsung "mengerubungi" Indonesianis terkemuka dari Northwestern University USA.

Dengan terus tersenyum ramah, pria bule itu menanggapi berbagai pertanyaan wartawan dengan terkait dinamika politik di Indonesia

BACA JUGA: Saya dan Keluarga Menyadari Pekerjaan di KPK

"Posisi SBY sekarang lebih lemah bila dibandingkan dengan sebelum kasus Nazaruddin ini muncul," katanya menjawab pertanyaan wartawan dalam bahasa Indonesia yang sangat fasih.

Jeffrey memang menguasai bahasa Indonesia dengan sangat baikMaklumlah, dia menginjakkan kaki di Indonesia sejak 1982Waktu itu, Jeffrey yang baru lulus S-1 ilmu politik, direkrut menjadi dosen sastra Amerika di Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada, Jogjakarta"Memang anehTernyata, kesempatannya ada di situ," ujarnya.

Menurut Jeffrey, itulah awal perkenalannya dengan Indonesia"Beberapa teman dari 29 tahun yang lalu itu masih adaKami masih berteman dekat sampai sekarang," tuturnyaJeffrey sempat menetap tiga tahun di JogjakartaSetelah itu, dia pulang ke Amerika untuk mengambil gelar master di Yale University, ConnecticutBegitu lulus, dia melanjutkan program doktornya di kampus yang sama.

Karena pernah tinggal di Indonesia, Jeffrey tertarik untuk menjadikan Soeharto dan rezim Orde Baru sebagai objek disertasi"Ini berkembang secara teratur, baik teoretis dan penelitiannya," kata JeffreyBanyak pengalaman menarik dalam proses pengumpulan data sepanjang 1989-1990.

Jeffrey mengaku prosesnya sangat sulitTerutama untuk mewancarai sejumlah menteri dan pengusaha besar yang berseliweran di lingkaran kekuasaaan"Empat bulan semua pintu ditutup, saya hampir putus asaSudah coba pakai surat resmi, pakai ini, pakai itu, cara biasa, tetap nggak bisaSaya hampir mau pulang karena merasa risetnya nggak bisa jalan," katanya.

Di tengah ketidakpastian itu, Jeffrey mendapat informasi "kecil" yang justru membawa perubahan besar bagi risetnyaSalah satu pejabat yang menjadi target untuk diwawancarai adalah J.B SumarlinSaat itu dia menjabat menteri keuanganSetelah permohonannya untuk wawancara selalu ditolak staf sekretaris Menkeu, tiba-tiba Jeffrey mendengar kabar bahwa Sumarlin rutin bermain tenis di Hotel Borobudur, JakartaSuatu pagi Jeffrey datang tepat saat jadwal Sumarlin bermain tenis.

"Saya menempatkan diri di lapangan tenis yang bersebelahanKebetulan saya dulu pelatih tenisJadi, saya bisa main dengan lumayan," tuturnyaSumarlin dan Jeffrey pun bermain tenis di lapangan yang bersisianKetika Sumarlin beristirahat minum, Jeffrey ikut beristirahatNah, saat itulah kesempatan ngobrol terbukaMenurut Jeffrey, awalnya, Sumarlin memuji permainan tenisnya.


"Mungkin Pak Sumarlin merasa saya bisa diajak menjadi double partner supaya bisa mengalahkan lawannya," kata Jeffrey, lantas tertawa lepas.

Ngobrol ringan soal tenis terus berlanjut menjadi lebih seriusSumarlin bertanya asal dan tujuan Jeffrey di IndonesiaBegitu tahu Jeffrey tengah melakukan riset ekonomi politik Indonesia, Sumarlin langsung memberikan respons positif.

"Pak Sumarlin bilang, kebetulan saya ini menteri keuanganSaya bilang iya, masak saya Soeharto, begitu joking (guyon, Red) saya," kata JeffreyJeffrey seperti mendapat durian runtuhTeman main tenis Sumarlin ternyata Gubernur Bank Indonesia (BI) Adrianus Mooy.

"Saya bilang kepada mereka kalau sudah lama mencoba bertemu, tapi nggak bisaJawab Pak Sumarlin, "Ah, langsung telepon sajaIni kartu namanya"," tuturnya.

Begitu satu pintu terbuka, akses Jeffrey untuk berkenalan dan menginterview para pejabat dan pengusaha Orba yang diperlukannya dalam pengumpulan data menjadi lancar ibarat jalan tol"Ini tidak diajarkan di sekolah, bagaimana harus menjadi kreatif supaya bisa masuk dan menjalankan riset," ujarnya.

Setelah meraih gelar doktor pada 1991, Jeffrey tidak kembali ke UGMDia diterima mengajar ilmu politik di University of Michigan, Ann ArborNamun, sejak 1993 dia pindah dan resmi menjadi dosen ilmu politik di Northwestern University, ChicagoMeski begitu, sampai sekarang Jefrry masih rutin 3-5 kali datang ke Indonesia dalam setahun untuk melakukan riset.

Saat ini dia melakukan riset untuk penulisan buku baru berjudul Demokrasi tanpa HukumBuku ini merupakan studi komparasi antara kasus Indonesia dan beberapa negara lainMenurut Jefrry, Indonesia tergolong negara yang unik karena berhasil mencapai demokrasi, tapi gagal mencapai negara hukum"Pertanyaan besarnya, mengapa Indonesia bisa gagal dan bagaimana itu bisa diperbaiki," jelasnya.

Jeffrey sudah menulis empat buku mengenai IndonesiaTiga buku sepenuhnya tentang Indonesia dan satu buku dengan bagian yang cukup besar tentang IndonesiaYakni, Power in Motion: Modal Berpindah, Modal Berkuasa (1999), Dosa-Dosa Politik Orde Baru (1999), Reinventing Bank Dunia (2002), dan Orba Jatuh, Orba Bertahan (2004)"Sepanjang karir saya, Indonesia selalu menjadi fokus besar," tandas Jeffrey(*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Wayan Coster Mimpi Lolos, Ibas Sewot


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler