Diskursus Etis: Kontroversi Kebijakan Tapera, Keadilan atau Sekadar Kewajiban?

Oleh: Yaffi Sayyaf, Mahasiswa Magister Kebijakan Publik & Governansi Universitas Indonesia

Minggu, 16 Juni 2024 – 09:49 WIB
Ilustrasi perumahan. Foto : Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2024 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), khususnya Pasal 15 Ayat (1) dan Ayat (2) menjadi kontroversi.

Pasalnya, peraturan tersebut mewaijbkan pekerja dan pemberi kerja membayar iuran sebanyak 3 persen dari gaji yang diberikan.

BACA JUGA: Honorer & ASN PPPK Tolak Tapera, Mending Fasilitasi Uang Muka, Cicilan Murah 

Rinciannya adalah 2.5 persen potongan dari gaji pegawai dan 0.5 persen dari pemberi kerja pegawai.

Potongan ini disinyalir pemerintah sebagai upaya untuk memberikan subsidi terhadap tabungan perumahan rakyat.

BACA JUGA: Tolak Tapera, Buruh Bakal Gelar Unjuk Rasa Secara Nasional 27 Juni

Tapera dikelola oleh BP Tapera. Kendati demikian, permasalahan utama yang harus menjadi sorotan adalah mewajibkan seluruh pekerja yang berpenghasilan sekurang-kurangnya upah minimum dan dengan usia sekurang-kurangnya 20 tahun atau sudah menikah wajib membayar iuran Tapera.

Kebijakan ini tentu tidak tepat guna mengingat bahwa tidak adanya pengecualian bagi para pekerja yang telah memiliki rumah ataupun yang tengah menyicil rumah secara KPR.

BACA JUGA: Gaji Honorer Tidak Seberapa, Mau Dipotong Tapera, Kebijakan Aneh

Di dalam peraturan tersebut mewajibkan seluruh pekerja yang memenuhi syarat untuk dilakukan pemotongan 2.5 persen gaji.

Jika kewajiban tersebut tidak dibayarkan maka akan berdampak pada penetapan sanksi secara administratif maupun denda administratif secara berkala.

Urgensi pemotongan gaji oleh pemerintah untuk subsidi perumahan rakyat ini sejatinya tidak melandaskan pada asas keadilan.

Pemerintah menyamakan persepsi dalam satu bingkai pandangan dan memangkas secara rata.

Padahal prinsip keadilan adalah memberikan dan mengambil sesuai dengan kebutuhan tidak berdasarkan sama rata sama rasa seluruh pekerja.

Berkaitan dengan skala prioritas kebutuhan setiap pekerja tidak menyamakan seluruh kepentingan dalam satu cara pandang.

Jika pemerintah memaksakan seluruh pekerja yang memenuhi syarat untuk membayar iuran baik yang telah memiiki rumah maupun yang belum memiliki rumah maka hal ini tidak berdasarkan prinsip keadilan.

Pekerja yang telah memiliki rumah tidak semestinya menanggung pembiayaan para pekerja yang belum memiliki rumah.

Selain itu para pekerja yang sedang melakukan KPR rumah maka praktis akan menanggung dua beban sekaligus yang seharusnya tidak dibebankan pada individu tersebut.

Sudah sepatutnya menentukan kebijakan yang berdasarkan akar masalah dan tidak memangkas seluruh pekerja.

Terdapat pekerja yang telah memiliki rumah yang seharusnya tidak lagi menjadi kewajiban untuk membayar iuran Tapera. Perlu adanya kajian yang lebih mendasar mengenai pendefisian masalah kebijakan dan partisipasi masyarakat untuk berdialog.

Pemerintah seakan-akan tidak melakukan prinsip governansi terhadap masyarakat, terutama kepada para pekerja yang merasakan dampak pemotongan iuran Tapera.

Selain itu , patut untuk diketahui bahwa program subsidi merupakan tanggung jawab pemerintah seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2022 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2023.

Pasal 1 Ayat (12) menyebutkan Program Pengelolaan Subsidi adalah pemberian dukungan dalam bentuk pengalokasian anggaran kepada perusahaan negara, lembaga pemerintah, atau pihak ketiga berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku untuk menyediakan barang atau jasa yang bersifat strategis atau menguasai hajat hidup orang banyak, dan/atau disalurkan langsung kepada penerima manfaat sesuai kemampuan keuangan negara.

Kebijakan ini seharusnya ditinjau ulang oleh pemangku kepentingan dan pemangku kebijakan sehingga dapat mencapai azas keadilan yang sebenar-benarnya.

Selain itu diperlukan evaluasi berupa dialog dan dengar pendapat terhadap para stakeholders yang terkena peraturan tersebut secara berkala. Hal ini patut diadvokasi melalui sistem governansi dan keberpihakan secara etis.

Seharusnya aturan ini menyasar para pekerja yang memenuhi syarat dan belum memiliki rumah sehingga prinsip keadilan dapat tercapai.(***)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler