jpnn.com, JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan bahwa sikap intoleran masih menjadi ancaman bagi kemajemukan bangsa.
Menurut dia, hal ini terlihat dari hasil survei nasional yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah pada 2018 yang mengindikasikan 63,07 persen guru memiliki opini intoleran pada pemeluk agama lain.
BACA JUGA: Di Forum Pemuda Pancasila, Bamsoet: Jangan Sampai Kita Pecah
Selain itu, lanjut dia, penelitian kualitatif SETARA Institute pada 2019 di 10 kampus perguruan tinggi negeri, menemukan wacana dan gerakan keagamaan di perguruan tinggi negeri yang berpotensi mengancam Pancasila.
Secara kualitatif, Bamsoet melanjutkan, gejala radikalisme beragama juga menyasar aparatur sipil negara (ASN).
BACA JUGA: HNW: Ideologi Pancasila Sudah Teruji Mampu Menghadapi Tantangan Zaman
Menurutnya, hal ini tercermin dari pandangan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang mensinyalir ASN pro radikalisme, atau bersikap antiterhadap Pancasila jumlahnya lebih dari 10 persen.
"Serta penilaian Menteri Pertahanan ke-25 Jenderal (purn) Ryamizard Ryacudu yang menyebutkan 3 persen anggota TNI-POLRI terpapar paham radikalisme," ujar Bamsoet dalam Diskusi Kebhinekaan dan Teater Toleransi Bangsa yang digelar Inisiator Perjuangan Ide Rakyat (INSPIRA) secara virtual dari ruang kerja ketua MPR RI, Jakarta, Senin (16/11).
BACA JUGA: Catatan Ketua MPR RI: Memupuk Harapan, Membangun Kepastian
Ketua ke-20 DPR RI ini menambahkan, survei terbaru 2020 oleh Wahid Institute mencatat bahwa sikap intoleran dan paham radikalisme mempunyai kecenderungan meningkat, dari 46 persen menjadi 54 persen.
Menurutnya, berbagai laporan tersebut mengirimkan pesan penting bahwa diperlukan langkah-langkah konkret untuk menyelamatkan masa depan toleransi di Tanah Air.
Bamsoet menegaskan tolerans harus menjadi kebutuhan, karena kebhinekaan adalah elemen pembentuk bangsa.
Menurutnya lagi, kebhinekaan bukan hanya fakta sosiologis yang hanya diterima sebagai sesuatu yang given, tetapi juga harus terus menerus diperjuangkan.
"Ketidakmampuan mengelola kemajemukan mengakibatkan terjadinya berbagai gejolak radikalisme yang menggerus sikap toleran," papar Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI menilai berseminya sikap intoleran tidak lepas dari kealpaan seluruh elemen bangsa dalam menyemai sikap toleransi.
Menurutnya, kealpaan tersebut terasa sejak awal reformasi dalam bentuk de-ideologisasi Pancasila, antara lain dengan dicabutnya P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dan dihapuskannya BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Terakhir, kata dia, dilakukan juga penghapusan mata pelajaran Pancasila dari mata pelajaran pokok di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi.
"Tidak heran jika kelompok konservatif-eksklusif mudah mengintrupsi dunia pendidikan dan kelembagaan sosial-kemasyarakatan serta kelembagaan negara dengan paham, ideologi dan doktrin keagamaan eksklusif yang menebarkan ancaman terhadap negara Pancasila," kata dia.
Sebagai langkah awal menanggulanginya, Bamsoet menegaskan, MPR RI telah mendorong pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional untuk mengembalikan kembali mata pelajaran Pancasila sebagai mata pelajaran yang wajib diajarkan di semua jenjang pendidikan. (*/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Boy