jpnn.com - JAKARTA -- Sejumlah ahli hukum menyayangkan putusan banding perkara pengadaan pekerjaan Life Time Extension (LTE) Gas Turbine GT 2.1 & GT 2.2 PLTGU Blok II Belawan, Medan di Pengadilan Tinggi Sumatera Utara.
Ahli pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy OS Hiariej menyatakan, putusan banding itu mencederai azas keadilan dan tidak sesuai fakta persidangan.
“Pada dasarnya kami tetap menghormati putusan ini, meskipun dari lubuk hati dan logika kami sangat menyayangkan putusan banding perkara LTE ini," kata dia, Kamis (5/3) dalam keterangannya.
BACA JUGA: Jokowi Ngacir di Tengah Festival, Paspampres Pontang-Panting
Menurutnya, dalam kasus ini terbukti tidak adanya unsur utama dari suatu tindak pidana korupsi, yaitu adanya kerugian negara, memperkaya diri sendiri dan orang lain.
Apalagi dengan tidak adanya bribery atau suap yang terjadi. “Sehingga hal tersebut membingungkan kami, manakah aspek yang dikatakan sebagai suatu tindak pidana korupsi?” tanya Eddy.
BACA JUGA: Tahanan Narkoba Rutan Cipinang Tewas Dikeroyok
Ia berpendapat, majelis seharusnya memutus perkara a quo dengan mengikuti hati nurani dan tidak semata memakai dakwaan jaksa tanpa mempertimbangkan keterangan para saksi dan ahli di persidangan.
Menurutnya, putusan ini jelas bisa menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum yang seharusnya dapat diterapkan secara adil atau fair, memberikan kepastian hukum, dan mendatangkan manfaat bagi semua pihak. “Namun, putusan tersebut menurut Kami justru mencerminkan hal sebaliknya" jelas Eddy.
BACA JUGA: Menteri Susi Bereskan 1.132 Kapal eks Asing yang Bodong
Ahli hukum Universitas Indonesia sekaligus saksi ahli dalam persidangan, Dian Simatupang menilai putusan majelis hakim banding sangat bertentangan dengan fakta. “Putusan itu sangat tidak rasional, tidak sesuai fakta dan prinsip hukum normative dimana kerugian Negara yang nyata dan pasti tidak ada,” katanya dihubungi wartawan, Kamis (5/3).
Menurut Dian, dalam kasus LTE PLN tidak ada unsur kerugian negara. Kata dia, kalau memang ada kerugian negara atau negara merasa dirugikan, harusnya tanyakan saja kepada Menteri Keuangan. "Seberapa banyak keuangan negara dirugikan dalam proyek ini,” imbuh Dian.
Kuasa Hukum PLN Todung Mulya Lubis menyayangkan putusan Majelis Hakim yang lebih memilih dakwaan jaksa sehingga tetap memidanakan terdakwa kendati tidak terbukti melanggar Pasal 2 UU Tipikor dan tidak merugikan negara.
"Kami tentunya sangat menyayangkan atas putusan tersebut. Majelis Hakim yang mulia tampaknya memutus perkara ini dengan tidakberdasarkan fakta-fakta dan hati nuraninya," ungkap Todung.
Sekadar catatan, dalam perkara LTE PLTGU Belawan, para tenaga ahli PLN yang dijadikan tersangka adalah mantan General Manager Chris Leo Manggala, ketua panitia lelang Surya Dharma Sinaga, Rodi Cahyawan, dan Muhammad Ali. Selain itu, dua dari pihak swasta, yaitu Direktur Utama PT Nusantara Turbin dan Propulsi Supra Dekanto dan Direktur Utama PT Mapna Indonesia Mohammad Bahalwan.
Pada putusan banding di Pengadilan Tinggi Tipikor Sumatera Utara beberapa hari lalu, Majelis Hakim Tinggi yang diketuai ATH Pudjiwahono menjatuhkan hukuman penjara 8 tahun kepada Rodi Cahyawan, 9 tahun kepada Chris Leo Manggala, 8 tahun untuk M Ali dan 8 tahun untuk Surya Dharma Sinaga. Adapun Supra Dekanto, selaku direktur PT Nusantara Turbine & Propulsi (NTP), dijatuhi hukuman 5 tahun penjara.
Vonis tersebut lebih tinggi dibanding vonis di tingkat pertama. Dalam putusan tingkat pertama di PN Tipikor Medan pada Rabu, 1 Oktober 2014, Majelis Hakim memutuskan tenaga ahli PLN yang dijadikan terdakwa dalam perkara peremajaan LTE tersebut tidak terbukti melakukan pelanggaran atas pasal 2 UU Tipikor. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Lebih Terhormat jika KPK Limpahkan Kasus BG ke Pengadilan
Redaktur : Tim Redaksi