jpnn.com, JAKARTA - Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menyinggung berbagai aspek pertimbangan sebelum parpolnya bekerja sama dengan partai lain pada Pilpres 2024.
Berbagai aspek itu, seperti ideologi, historis, tujuan berpartai, hingga etika politik.
BACA JUGA: Pengungkapan Kematian Brigadir J Makin Terang, dari Sini Melihatnya
Hal itu disampaikan Hasto saat ditanya tentang kemungkinan PDIP membentuk poros politik untuk Capres-Cawapres 2024 dengan berkoalisi bersama Partai NasDem.
Menurut Hasto, PDI Perjuangan selalu memandang kesamaan ideologi sebelum bekerja sama, yakni partai lain harus berkomitmen terhadap Pancasila.
BACA JUGA: CCTV Merekam Kejadian Brigadir J Masuk Kamar Istri Ferdy Sambo? Irjen Dedi Berkata
"Harus ada kesamaan ideologi, dalam hal ini Pancasila dengan spirit kelahirannya pada 1 Juni 1945," ujar penyandang gelar doktor dari Universitas Pertahanan (Unhan) itu ditemui di DPP PDI Perjuangan, Jakarta Pusat, Kamis (21/7).
Hasto kemudian menyebut perspektif historis menjadi aspek penting sebelum parpol pimpinan Megawati Soekarnoputri bekerja sama pada Pilpres 2024.
BACA JUGA: Sekjen PDIP Minta Kasus Kudatuli Harus Diungkap, Sampai ke Aktor IntelektualÂ
Misalnya, partai berlambang banteng itu akan memandang rekam jejak parpol lain yang punya sejarah kuat membangun RI.
"Kemudian juga betul-betul berjuang bagi kepentingan bangsa dan negara," ujar anggota DPR RI periode 2004-2009 itu.
Selanjutnya, kata Hasto, PDI Perjuangan membangun kerja sama dengan partai lain atas kesamaan terhadap agenda negara pada masa depan.
Dia juga menyinggung tentang etika politik bakal dikedepankan PDIP sebelum membangun poros politik.
Hasto kemudian menyebut kerja sama tidak mungkin dibangun apabila partai lain menggunakan instrumen hukum demi membajak kader internal.
"Instrumen hukum yang dipakai untuk membajak kader partai lain yang telah diperjuangkan susah payah di dalam pilkada, nah, itu menjadi evaluasi kritis bagi PDI Perjuangan," ujar Hasto. (ast/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Aristo Setiawan