Ditemani Pemandu Virtual, Koleksi Indonesia Terbanyak

Minggu, 28 September 2014 – 01:28 WIB
PESONA ASIA: Gedung Asian Civilisations Museum yang terkesan kuno tapi megah. Henny Galla/Jawa Pos/JPNN.com

jpnn.com - Negara-negara di Asia terintegrasi sejak zaman nenek moyang. Singapura merupakan negara yang menunjukkan kepedulian terhadap sejarah benua terbesar di dunia tersebut. Kepingan kehidupan masa lampau itu pun terpampang dalam ruangan-ruangan redup Asian Civilisations Museum Singapura.


Laporan Henny Galla Pradana, Singapura
==========================

BACA JUGA: Ciptakan Robot Pembelajaran dan Permainan Punakawan


KENDATI menjelang senja, cuaca Singapura masih membuat gerah. Tetapi, penduduk maupun pelancong di Negeri Singa itu tampak tidak kehilangan kegembiraan.

Tidak jauh dari Stasiun MRT Clarke Quay, ratusan orang berkumpul di taman yang cukup luas di samping pusat perbelanjaan di sepanjang pinggiran Sungai Singapura (Singapore River). Salah seorang berteriak histeris sambil mengucapkan nama ’’Fernando, Fernando, I love you!’’

BACA JUGA: Adaptasi Karakter Power Ranger Jadi Superhero Lokal

Tampaknya, Kamis sore (18/9) itu, Fernando Alonso, pembalap Ferrari dalam ajang Formula 1, tengah mengadakan jumpa pers. Fans-nya pun mengerumuni. Grand Prix Season 2014 memang sangat mendukung lifestyle modern dan glamor Singapura. Event tahunan bertema One Stop Non Stop itu pun kian menggairahkan penghobi shopping maupun pemburu kuliner hingga pesta-pesta malam.

Namun, Singapura tidak hanya menyuguhkan pesta. Negara pulau di ujung Semenanjung Malaka tersebut sejatinya sangat mengagumi kultur dan seni. Hal itu terlihat dari banyaknya museum serta pusat kebudayaan. Setidaknya, kini ada 24 museum di Singapura yang lima di antaranya merupakan museum nasional.

BACA JUGA: Kisah Juru Masak Kapal Perang Markas KRI Makassar

Sesaat kemudian, Jawa Pos melangkahkan kaki menjauhi pusat kerumunan orang itu. Lantas, menyusuri jalanan di sisi kanan Sungai Singapura, terowongan-terowongan pendek yang dinding-dindingnya dihiasi mural warna-warni, berpapasan dengan orang-orang yang sedang joging, pemuda dengan skateboard dan skuter, hingga para turis yang asyik berfoto di deretan kawasan restoran Tiongkok. Perahu Clark Quey juga terlihat mondar-mandir membawa penumpang seperti pemandangan di Sungai Chao Phraya, Thailand.

Selang 15 menit kemudian, Jawa Pos melintasi jembatan gantung nan kukuh yang menghubungkan sisi kanan dan kiri sungai. Di depan jembatan, tampak bangunan megah dengan arsitektur Eropa kuno, bercat putih yang berpadu kuning pastel. Bangunan yang dikelilingi pohon-pohon rimbun dan rumput-rumput hijau itu adalah The Asian Civilisations Museum (ACM). Sebuah museum yang terletak di 1 Empress Place, berisi ribuan macam koleksi barang seni dan budaya masyarakat Asia zaman dulu.

Gaya klasik bangunan itu masih dipertahankan. Museum tersebut dulu merupakan Empress Place Building yang dibangun pada 1860 dan digunakan lebih dari 100 tahun untuk rumah kolonial dan sesudahnya seperti kantor pemerintah Singapura.

Museum yang tepat bersinggungan dengan gedung parlemen Singapura itu merupakan satu di antara lima museum nasional. Empat lainnya adalah Museum Peranakan, Museum Nasional Singapura, Museum Seni Singapura, dan 8Q SAM, yakni museum seni kontemporer yang terletak di Queen Street Nomor 8. Dibangun pada 1993, ACM berhasil masuk dalam jajaran sembilan besar Asia’s Top Museum versi TripAdvisor’s Travellers Choice. Peringkatnya membayangi Hong Kong’s Museum of History di posisi ke-8.

Saat memasuki ACM, pengunjung akan bertemu ruang lobi yang cukup luas. Di tengahnya terdapat meja panjang tempat menjual tiket. Satu di antara tiga petugas loket menunjukkan selembar kertas berisi peta keseluruhan ruangan museum. Tentu saja, peta itu diberikan setelah Jawa Pos membayar biaya masuk SGD 8 atau sekitar Rp 75 ribu per orang.

Awal eksplorasi museum, pengunjung disambut anak tangga yang cukup tinggi menuju lantai 2. Dinding abu-abu dan lantai dari kayu cokelat mengkilap menambah nuansa etnik museum. Sebuah pahatan topeng raksasa yang digantung di dinding seolah ikut menyambut pengunjung. Di level ini, ACM menyuguhkan ratusan galeri seni patung (sclupture) masyarakat Batak, Sumatera Utara, pada masa lampau. Pameran itu bertajuk Beginning of the Becoming: Batak Sculpture from Northern Sumatra.

Suasana di dalam museum memang tidak riuh seperti di luar gedung. Hanya terlihat satu–dua orang yang menikmati karya para nenek moyang itu. Misalnya, Richard, pemuda dari London yang mengunjungi ACM bersama kekasihnya. Mereka terlihat mesra sambil berdiskusi soal seni pahat dan ukir Hombung (Heirloom chest), pahatan kayu yang ditemukan pada abad ke-19 di Toba atau Simalungun Batak.

Hombung merupakan tempat penyimpanan benda-benda penting dan bernilai seperti perhiasan, senjata, serta tekstil. ’’Saya tidak pernah ke Indonesia. Saya baru pertama ke museum ini. Saya lihat banyak kebudayaan yang sangat unik dari Indonesia pada masa lalu,’’ ungkap Richard kepada Jawa Pos.

Begitu pula Karish, mahasiswi jurusan Sosiologi di Singapore Institute of Management (University at Buffalo) Singapura. Dia mengunjungi pameran ACM untuk menggarap tugas dari kampusnya. Sejak awal melihat seni pahatan Batak, gadis 22 tahun tersebut merasa sangat tertarik untuk mempelajari.

’’Karya ini sangat mistis. Masyarakat Singapura tidak begitu percaya takhayul,’’ ujarnya lantas tersenyum.

Dari beberapa pahatan, Karish memperkirakan, Indonesia memiliki beragam budaya dan kepercayaan pada masa lampau. ’’Saya memang belum melihat semuanya. Tapi, mereka (nenek moyang) terlihat memiliki kepercayaan sendiri dan berbeda-beda satu sama lain tentang bagaimana mereka diciptakan,’’ ungkapnya.

Karya seni dan kebudayaan Indonesia yang terpampang di urutan terdepan pameran merupakan sebuah kehormatan. Karena itu, pengunjung dari Indonesia bakal mencium aroma hommy di negeri orang. Apalagi ketika Jawa Pos menuju ruangan redup di sisi tengah museum. Dina, seorang gadis asal Asia Tenggara, memperkenalkan diri. Jangan bayangkan dia berkenalan dengan saling berjabat tangan. Sebab, dia berada dalam sebuah layar sentuh berukuran 14 inci. Apabila kita tidak menyentuh layar itu, Dina akan lebih senang bersenandung lirih.

Namun, jika kita menyentuh layar tersebut, Dina akan sigap menjawab pertanyaan pengunjung tentang Asia Tenggara. Gadis berambut panjang sepundak itu pun memaparkan bahwa banyak suku bangsa di Asia Tenggara. Misalnya, Melayu, India, hingga peranakan Tiongkok.

’’Kalau ingin traveling di Asia Tenggara, kamu perlu backpack yang besar. Sebab, Asia Tenggara terdiri atas beberapa wilayah dan punya lebih dari 20 ribu pulau. Oh iya, masyarakat Asia Tenggara juga makan nasi setiap hari,’’ ucapnya meyakinkan.

Di dalam ruangan besar itu, dijelaskan secara gamblang soal Asia Tenggara yang dipercaya menjadi pusat awalnya penanaman padi (oryza sativa) di dunia. ACM menggambarkannya pada sebuah papan berisi peta Indonesia dengan jajaran kepulauannya yang dianggap sebagai asal dan penyebaran padi di Asia.

Indonesia tampak sebagai pusat wilayah Asia Tenggara dengan nilai sejarah yang sangat tinggi pada masa silam. Sebab, peta dan koleksi seni asal Indonesia tersebar di berbagai ruangan. Termasuk di Galeri ChinaMania yang merupakan koleksi keramik Tiongkok era 800–1900. Di museum itu digambarkan bahwa di dasar-dasar laut Indonesia masih tersimpan banyak kapal Tiongkok karam yang membawa keramik yang terkubur selama ratusan tahun.

Misalnya, sebuah Balang Pusaka yang terbuat dari tembikar batu. Yakni, keramik zaman Dinasti Qing Tiongkok pada abad ke-18 yang ditemukan di Sambas, Kalimantan Barat. Banyak pula keramik dari Vietnam yang sempat berjaya di wilayah Indonesia seperti Jawa dan Sulawesi. Misalnya, Tepak Sireh, keramik Vietnam dengan balutan perak yang ditemukan di Makassar pada abad ke-19.

Koleksi sejarah Indonesia, khususnya Pulau Jawa, makin banyak ditemukan di lantai 3 museum. Ada belasan koleksi gong dan gamelan yang dibuat pada 1960 di Jogjakarta. Gamelan tersebut ditampilkan di atas panggung rendah berlapis kain hitam. Sorotan lampu kuning terang di ruangan yang sekelilingnya remang membuat mata langsung terpusat pada bagian tengah panggung. Di depan panggung terdapat headset yang memungkinkan pengunjung mendengarkan wawancara tentang proyeksi layar: Wayang Topeng dengan Penari Jawa Klasik Lantip Kuswala Daya.

Selain itu, ada puluhan wayang kulit yang ditampilkan dalam format bak pertunjukan. Tampak para Punakawan (witty friends/teman cerdas) tertempel di balik kain putih yang dibikin mirip masyarakat Jawa saat menikmati pergelaran wayang oleh dalang. Semar, Bagong, Gareng, dan Petruk tampil sebagai refleksi adaptasi Jawa yang unik pada epik Hindu seperti Mahabarata dan Ramayana.

Di sisi lainnya, Supono Wiguno, perajin topeng orang dari Jogjakarta, bercerita tentang perbedaan topeng di antero Jawa. Contohnya, topeng-topeng yang dibuat di Jogja dan Surakarta di Jawa Tengah, Malang (Jawa Timur), serta Cirebon (Jawa Barat) memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Seperti Dina, Supono bercakap dengan pengunjung dari balik layar.

’’Topeng Jogja cenderung oval-bulat. Di Malang, topeng masih menyisakan bekas potongan, sedangkan di Cirebon bagian atasnya pendek, dagu runcing. Sementara itu, di Surakarta, atasnya cenderung lebar,’’ ujar pria yang mengenakan setelan batik dan belangkon itu.

ACM yang didirikan di atas tanah 15 ribu meter persegi itu juga menyuguhkan berbagai macam hasil seni dan budaya negara lain di Asia. Antara lain, Myanmar, Thailand, India, hingga Timur Tengah. Di samping itu, terdapat zona untuk mengenalkan anak-anak kepada sejarah bangsa-bangsa.

Berbanding terbalik dengan galeri utama, zona anak tampil lebih terang dan warna-warni. Ada berbagai koleksi seni keramik sederhana yang dibikin anak-anak SD di Singapura.

Manager, Marketing, and Corporate Communications ACM Vijaya Pawade menyatakan, ACM memang didedikasikan untuk mengeksplorasi kekayaan artistik sejarah Asia. ’’Melalui koleksi-koleksi seni dan pameran, kami berharap bisa memperdalam pemahaman orang tentang Asia Tenggara, Tiongkok, Asia Selatan, Asia Barat, dan dunia peranakan. ACM telah menghubungkan para pengunjung dengan berbagai kebudayaan itu,’’ katanya. (*/c5/ari)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Lutut Bengkak, Tiba di Finis, Eka Menangis


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler