jpnn.com, JAKARTA - Industri tekstil di Indonesia mengalami ancaman dari berbagai sisi hingga kinerjanya anjlok, bahkan banyak yang gulung tikar. Data dari Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI) menunjukkan, dalam dua tahun terakhir yakni 2022-2024, sebanyak 60 perusahaan tekstil terpaksa tutup.
"Tahun 2024 sudah banyak pabrik yang tutup. Sekitar 60 perusahaan di sektor hilir dan tengah industri tekstil telah berhenti beroperasi," kata Ketua Umum APSyFI, Redma Gita Wirawasta, Selasa (17/12).
BACA JUGA: Ini yang Dilakukan Bea Cukai dalam Mendukung Industri Tekstil Dalam Negeri
Akibat banyaknya pabrik yang tutup berimbas pada pemberhentian tenaga kerja. Banyak buruh pabrik yang menggantungkan perekonomiannya di sana terpaksa harus terkena PHK karena perusahaannya kolaps.
"Sekitar 250 ribu karyawan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK)," ujarnya.
BACA JUGA: Aku dan Warisan Ibu Kolaborasi Seni Tekstil & Padu Padan Batik Lawasan
Menurut Redma, penutupan perusahaan-perusahaan tekstil ini dipicu oleh meningkatnya impor ilegal yang mengalir ke pasar domestik tanpa kontrol yang ketat dari pemerintah. Hal ini telah memperburuk kondisi industri tekstil di Indonesia, yang sebenarnya sudah mengalami deindustrialisasi selama 10 tahun terakhir.
Saat pandemi Covid-19, pada 2021, ketika impor dari China terhenti, industri tekstil Indonesia sempat mengalami pemulihan. Namun, naas, begitu lockdown berakhir dan impor dibuka kembali, barang-barang ilegal pun membanjiri pasar.
BACA JUGA: Pelayanan Bea Cukai Banten Sangat Memuaskan, Perusahaan Tekstil Ini Beri Penghargaan
"Akibatnya, banyak perusahaan terpaksa menghentikan operasional mereka karena babak belur dihantam barang dari luar," ungkapnya.
Kondisi ini juga berdampak pada sektor-sektor terkait, seperti industri petrokimia dan produksi Purified Terephtalic Acid (PTA), yang merupakan bahan baku utama tekstil. Menurutnya, jika produksi PTA terganggu, permintaan listrik untuk sektor tekstil pun menurun.
"Masalahnya adalah impor yang tidak terkendali. Hal ini menurunkan utilisasi industri kita dan berdampak pada sektor lain, seperti listrik dan logistik," jelas Redma.
Industri tekstil sebenarnya sangat penting bagi perekonomian Indonesia, dengan kontribusi 11,73 persen terhadap konsumsi listrik sektor industri dan 5,56 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Akan tetapi, sebagian besar pasar domestik kini justru dibanjiri barang-barang impor ilegal yang menyebabkan kerugian bagi negara, baik dari sisi pajak maupun bea masuk.
“Impor ilegal menjadi pembunuh utama bagi industri tekstil Indonesia, dengan sekitar 40 persen barang yang masuk ke Indonesia tidak tercatat secara resmi,” tambahnya.
Dia pun menyarankan agar pemerintah segera mengatasi masalah impor ilegal ini untuk menyelamatkan pasar domestik dan memungkinkan industri tekstil lokal pulih. Menurutnya, sektor ini bisa kembali menyumbang hingga 8 persen terhadap PDB jika masalah ini dapat diatasi.
Untuk itu, berbagai langkah harus diambil, termasuk pembatasan impor yang lebih ketat dan perbaikan sistem di pelabuhan.
"Ada kelemahan sistem di pelabuhan, terutama terkait penggunaan scanner dan data manifest impor (dokumen resmi barang impor) yang tidak sinkron. Hal ini menjadi celah bagi masuknya barang ilegal," tegasnya. (esy/jpnn)
Redaktur : M. Adil Syarif
Reporter : Mesyia Muhammad