Divestasi 51 Persen, Tak Perlu Terapkan Resource Nationalism

Senin, 30 Oktober 2017 – 17:15 WIB
Freeport Indonesia. Foto: AFP

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat kebijakan mineral Rachman Wiriosudarmo ikut mencermati polemik yang terjadi atas kebijakan pemerintah yang menyepakati framework divestasi 51 persen saham Freeport.

Menurutnya, kepentingan nasional memang harus dijadikan tujuan utama dalam kebijakan investasi asing. Namun, dia mengingatkan supaya kepentingan nasional tersebut harus diperoleh tanpa meniadakan kemanfaatan investasi asing kalau memang masih diperlukan.

BACA JUGA: Menteri Rini Beber Sumber Dana untuk Caplok Saham Freeport

Saat ini Indonesia menerapkan prinsip resource nationalism, yaitu kebijakan negara dengan tujuan mempersempit ruang gerak investasi asing di sektor pertambangan mineral, minyak dan gas bumi.

Resource nationalism pada umummya dilakukan karena tekanan politik atau karena berkembangnya ideologi tertentu yang berpengaruh kuat terhadap perkembangan politik dalam negeri.

BACA JUGA: Freeport Tolak Mekanisme Divestasi

Meski telah diterapkan di berbagai negara, namun menurut mantan Direktur Pembinaan Pengusahaan Pertambangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ini, masih menjadi perdebatan apakah resource nationalism benar-benar diperlukan dan menguntungkan bagi negara dan bangsa.

“Indonesia tidak perlu serta merta menerapkan resource nationalism hanya karena kebijakan tersebut marak diterapkan di banyak negara," tutur Rachman dalam sebuah diskusi belum lama ini.

BACA JUGA: Inalum Caplok Freeport tanpa Holding

Hal ini menurutnya, karena kegiatan eksplorasi pertambangan merupakan kegiatan risiko tinggi dengan tingkat kesuksesan rendah. Kegiatan eksplorasi untuk menemukan cadangan tidak selalu berhasil.

Kalaupun ditemukan cadangan, belum tentu menguntungkan untuk ditambang. Cadangan terlalu kecil yang terdapat di lokasi yang sulit atau terpencil cenderung tidak menguntungkan atau tidak feasible untuk ditambang. Di lain kejadian kegiatan eksplorasi bahkan tidak menemukan cadangan sama sekali.

“Hanya perusahaan pertambangan yang kuat yang mampu mengatasi tiga tantangan tersebut. Perusahaan pertambangan besar harus bermodal kuat, memiliki dan menguasai teknologi dan akses pasar. Karena hal itu, hanya perusahaan pertambangan besar internasional yang mendominasi investasi pertambangan di negara berkembang, termasuk di Indonesia," sebutnya.

Lantas mengapa perusahaan nasional tidak dapat dominan di sektor pertambangan?

“Masalahnya adalah, apakah perusahaan nasional bersedia melakukan investasi dengan melakukan kegiatan eksplorasi yang berisiko tinggi dengan rasio keberhasilan rendah?," tanyanya balik.

Menurutnya, pada umumnya investor nasional tidak bersedia. Penyebabnya antara lain karena tidak cukup kuat, dan juga masih banyak peluang investasi lain dengan risiko yang lebih ringan.(chi/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Luhut Pastikan Divestasi Freeport Tuntas 2019


Redaktur & Reporter : Yessy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler