jpnn.com, JAKARTA - Polemik mengenai divestasi saham PT Freeport Indonesia belum juga terselesaikan.
Freeport sendiri memang wajib melepas secara kumulatif 51 persen saham ke pihak Indonesia.
BACA JUGA: Pemerintah Cegah Swasta Beli Saham Freeport
Pemerintah pusat menunjuk PT Inalum untuk menyerap saham divestasi tersebut. Dari 51 persen saham itu, ada hak sepuluh persen yang bisa diserap pemerintah daerah.
Namun, hak pemerintah daerah tersebut biasa dibuat pintu masuk oleh swasta untuk menguasai saham.
BACA JUGA: Freeport Ajukan Perpanjangan Izin Ekspor
Contohnya adalah divestasi saham Newmont Nusa Tenggara. Pemerintah daerah lewat BUMD setempat bekerja sama dengan Multicapital, perusahaan milik konglomerat Aburizal Bakrie.
Perusahaan patungan yang dibuat Grup Bakrie dan BUMD PT Multi Daerah Bersaing itu akhirnya menguasai 24 persen saham.
BACA JUGA: Pemerintah Batasi Gerak Freeport untuk IPO
Pada Juli 2016, saham tersebut dijual ke PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC), perusahaan milik Arifin Panigoro, yang pada saat itu juga membeli saham mayoritas lewat PT Amman Mineral Internasional (AMI).
Gubernur Provinsi Papua Lukas Enembe mengatakan, mekanisme tahapan selanjutnya dilakukan bersama Inalum.
’’Caranya seperti apa nanti mekanismenya dibicarakan. Kami, kan, memang hanya terima,’’ kata Enembe, Jumat (12/1). (vir/c22/sof)
Sejarah sepak terjang Freeport di Indonesia:
1967: Kontrak karya I berlaku 30 tahun sejak beroperasi pada 1973.
1988: PT FI menemukan cadangan Grasberg.
1991: Kontrak karya II berlaku 30 tahun dengan produksi berakhir 2021 serta kemungkinan perpanjangan 2 x 10 tahun.
1991: PT FI mendivestasi saham sebesar 9,36 persen ke pemerintah.
1996: Rio Tinto memiliki hak partisipasi 40 persen di proyek Grasberg.
2017: Setujui empat poin kesepakatan dengan pemerintah.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Perubahan Status Freeport Indonesia Bikin Mimika Untung
Redaktur & Reporter : Ragil