Dokter Tidak Rasional Memberikan Antibiotik

Minggu, 19 Oktober 2014 – 07:01 WIB

jpnn.com - JAKARTA  – Ternyata tak hanya apoteker yang berperan dalam peningkatan resistensi obat di Indonesia. Dokter pun punya andil dalam membuat pasien tak mempan lagi dengan obat di level bawah.

Hal ini dikatakan oleh Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Ali Ghufron Mukti karena kebiasaan mereka yang terlalu mudah memberikan antibiotik pada pasien. Bahkan, pada pasien dengan penyakit yang tidak membutuhkan antibiotik tersebut. meski ini diakuinya tak lepas dari tuntutan pasien yang ingin segera sembuh.

BACA JUGA: Ini Kriteria Calon Ajudan Presiden Jokowi

“Banyak faktor memang (mereka memberi antibiotik). Mungkin kebiasaan pola praktek lama. Sakit karena virus dikasih juga,” ujarnya pada koran ini kemarin (18/10).

Akibatnya, banyak pasien yang akhirnya resisten terhadap antibiotik. Mereka tak lagi mempan dengan antibiotik level pertaman.

BACA JUGA: Romy Klaim PPP Partai yang Pertama Dukung Jokowi Nyapres

Diakhir 2013, menurut survey Litbangkes Kementerian Kesehatan (Kemenkes) di 6 Rumah Sakit (RS) terdeteksi bahwa sebanyak 40-60 persen pasien sudah tidak mempan lagi dengan antibiotik generasi 1-4.

Imbasnya, lanjut dia, lama pengobatan pun juga akan semakin lama. Dan kemudian akan diikuti dengan pembengkakan biaya pengobatan. Sebab, semakin tinggi level obat maka semakin tinggi pula harga yang dibandrol.

BACA JUGA: Jokowi Harus Jamin Pejabat tak Ketakutan

Ghufron mencontohkan, untuk penyakit TBC misalnya. Jika pasien telah resisten, maka masa pengobatan yang bisa sembuh dalam enam bulan akan mundur hingga dua tahun. Sedangkan untuk besar biaya, akan mencapai 15 kali lipat dari kondisi sebelum resisten.

“Bisa sampai 15 kali lipat. Hingga puluhan juta rupiah pastinya, bisa demikian,” tandasnya. Bahkan lebih parahnya, sambung dia, penularan dari pasien resisten akan meyebabkan sang tertular berada di level resisten pula.

Karenanya, pihaknya tengah menyusun strategi untuk dapat mencegah bertambahnya angka resistensi antibiotik ini. salah satunya dengan dibentuknya Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA).

KPRA akan bertugas untuk mengawasi penggunaan antibiotik di seluruh RS di Indonesia. Bagi RS yang dirasa telah melanggar batas pemberian antibiotik maka akan langsung dikenakan sanki. Sanksi dapat berupa teguran lisan, tulisan hingg pencabutan ijin.

“KPRA akan menyasar para calon dokter, agar mereka juga memahami pentingnya penggunaan antibitik secara bijak,” tutupnya. (mia)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Calon Menteri Orang Dekat Jokowi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler