jpnn.com, JAKARTA - Promovenda yang baru saja disahkan oleh Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya Dr. Silva Liem, S.E., M.Sc. mengamati perilaku Buang Air Besar Sembarangan (BABS) pada masyarakat yang berpendapatan dan berpendidikan rendah di sebuah desa di Jawa Barat.
Penelitian yang dilakukan oleh Doktor Silva bertujuan untuk menelaah apakah faktor internal seperti sikap, norma subyektif, dan persepsi kendali, maupun faktor eksternal misalnya promosi kesehatan, mampu berkontribusi terhadap niat individu untuk stop BABS maupun tindak untuk mewujudkan niatnya tersebut.
BACA JUGA: Akademisi Unika Atma Jaya: Keaslian Translinguistik Memainkan Peran Penting dalam Sastra
“Saya berpikir bukan hanya perilaku BABS yang perlu kita edukasikan, tetapi juga termasuk alternatif lain apa yang bisa ditawarkan bagi mereka dengan kondisi finansial yang kurang mampu. Kita bisa
merangkul para tokoh agama sebagai perantara dalam menyampaikan informasi mengenai sanitasi air”, ungkap Silva dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (24/1).
BACA JUGA: Unika Atma Jaya Kukuhkan Prof. Djomo Setyanto jadi Guru Besar Mekanika Material
Promovenda adalah pemerhati masalah Water, Sanitation, and Hygiene (WASH) yang pernah dipercaya oleh World Bank, Asian Development Bank (ADB), UNICEF, Water.org., dan USAID yang
berhasil mempublikasikan karya dan berperan sebagai reviewer di Scopus indexed International Journal seperti American Journal of Health Promotion (Q1); Journal of Water, Sanitation, and Hygene for Development (Q2), Children and Society (Q2).
Silva menyebut umumnya, BABS merupakan perilaku yang tidak sehat, memalukan, bahkan melanggar norma agama.
Namun, untuk kelompok masyarakat yang diteliti Silva, perilaku BABS menawarkan kenyamanan, kesempatan bertemu dengan teman, juga manfaat ekonomis,
termasuk menghemat pakan ikan dan biaya membangun WC.
Terlepas dari manfaat tersebut, BABS juga dikaitkan dengan kesehatan dan status gizi anak, khususnya pada masa 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Sebab, kata Silva upaya pemerintah menurunkan angka stunting dihadapkan pada setidaknya tiga kendala pertama, persepsi masyarakat tentang postur pendek anak-anak yang diyakini sebagai bawaan. Kedua, istilah stunting yang kurang familiar di telinga masyarakat.
"Ketiga, dampak BABS sebagai faktor risiko stunting masih terbatas pada kajian ilmiah dan belum banyak tersampaikan kepada masyarakat umum,” tambah Doktor Silva.
Menurutnya, tiga kendala ini berkaitan dengan promosi kesehatan.
Di samping itu diperlukan juga pemahaman atas faktor yang memengaruhi warga untuk mau berhenti BABS, baik yang berasal dari dalam diri individu seperti sikap, tuntutan orang sekitar, dan keyakinan atas kemampuan diri, maupun faktor eksternal berupa informasi yang diterima tentang dampak BABS bagi kesehatan anak.
Secara praktis, lanjut Silva, penelitian tersebut merupakan sebuah masukan bagi praktisi kesehatan, khususnya dalam mengedukasi masyarakat tentang BABS sebagai faktor risiko stunting, serta dalam merancang intervensi untuk mengubah perilaku BABS menjadi BAB di WC Sehat.
“Promosi kesehatan cukup sukses menyampaikan sisi negatif BABS, sehingga sudah banyak pula yang menjadikan stop BABS sebagai goal intention/GI, sebuah tujuan yang ingin realisasikannya (“the what”). Namun, mempertimbangkan marjinalitas warga, GI stop BABS perlu didukung dengan implementation intention / II atau the how," ucapnya.
Dengan kata lain, Silva menilai kegiatan promosi kesehatan layaknya mencakup
informasi yang memperkenalkan alternatif skema pembiayaan demikian bagi calon kreditur maupun debitur sehingga warga pra-sejahtera pun dapat memiliki sarana sanitasi dan stop berperilaku BABS.
Kegiatan promosi kesehatan yang mencakup edukasi tentang bahaya serta dampak BABS diharapkan dapat lebih efektif dalam mewujudkan negara Indonesia yang bebas perilaku BABS.
Silva berpendapat penetrasi bank pembangunan daerah untuk menjangkau kelompok marjinal juga sekaligus
mengamankan mereka dari jeratan rentenir yang selama ini menjadi andalan tetapi akhirnya menjerumuskan warga ke jurang kemiskinan yang makin dalam," katanya.
Dengan demikian, kredit air dan sanitasi diharapkan menjadi entry point yang akan mendorong dan memudahkan interaksi masyarakat marjinal dengan lembaga keuangan formal, sehingga mereka terlindungi dari rentenir.
Penelitian yang dilakukan ini tentunya turut mendukung dan juga sebagai bentuk perhatian Unika Atma Jaya terhadap masyarakat kelompok marjinal.
Adapun sidang dan Promosi Doktor Psikologi Dr. Silva Liem, S.E., M.Sc digelar pada hari Senin (22/01) di Gedung Yustinus Lantai 14 Kampus Semanggi.
Disertasi tersebut berjudul “Pengaruh Sikap, Norma Subyektif, Persepsi Kendali, dan Promosi Kesehatan terhadap Intensi Implementasi Stop Buang Air Besar Sembarangan (BABS) dengan Intensi sebagai Mediator”.(mcr10/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul