DOM dan DOI

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Selasa, 11 Oktober 2022 – 18:17 WIB
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Aceh pernah dijadikan sebagai daerah operasi militer atau DOM pada 1990 sampai 1998. 

Operasi itu dilakukan oleh militer Indonesia untuk menghadapi perlawanan Gerakan Aceh Merdeka atau GAM yang mendapat dukungan luas dari rakyat Aceh.

BACA JUGA: Orangnya Tito Karnavian Berkomunikasi dengan Andi Arief soal Utusan Presiden, Ini yang Terjadi

Pelaksanaan DOM dihentukan, tetapi luka yang ditinggalkan cukup dalam dan masih terasa sisanya. 

Sejarah perlawanan masyarakat Aceh terhadap Pemerintah Indonesia membentang cukup panjang. 

BACA JUGA: Heru Budi jadi Pj Gubernur DKI, Ahmad Sahroni: Pak Jokowi Tak Asal Pilih

Di awal kemerdekaan, Aceh menjadi penyokong kemerdekaan Indonesia yang paling kuat. 

Pemimpin Aceh Daud Beureueh memobilisasi rakyatnya untuk patungan membantu Pemerintah Indonesia membeli pesawat terbang. 

BACA JUGA: BBM Naik, Budi Gunawan Bilang Pemberian BLT untuk Lindungi Masyarakat

Dari patungan itulah bisa terbeli pesawat Seulawah yang menjadi pesawat kepresidenan pertama Indonesia.

Akan tetapi kemudian terjadi kesalahpahaman dan kekecewaan, yang akhirnya memunculkan gerakan untuk memerdekakan diri dari Indonesia dengan munculnya GAM. 

Pemerintah Indonesia merespons gerakan separatisme itu dengan menjadikan Aceh sebagai DOM dan melakukan  operasi militer besar-besaran di wilayah itu.

Sudah hampir seperempat abad status DOM dicabut, tetapi luka sebenarnya belum benar-benar pulih 100 persen.

Masih banyak sisa-sisa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang belum diusut tuntas, dan hal itu seolah menjadi luka yang belum kering sampai sekarang.

Selama DOM terdapat ribuan orang hilang serta ditangkap secara sewenang-wenang tanpa adanya prosedur hukum yang jelas, selain itu banyak yang dieksekusi di depan umum. 

Ratusan perempuan bahkan anak di bawah umur diduga mengalami tindak kekerasan seksual. 

Banyak yang kehilangan tempat tinggal dan menjadi pengungsi di negerinya sendiri karena rumah mereka dibakar. 

Operasi militer tersebut kemudian berakhir setelah Presiden Soeharto jatuh. 

Pada 7 Agustus 1998, status DOM Aceh dicabut oleh Presiden B.J Habibie. 

Akan tetapi kekerasan belum benar-benar berhenti.  

Langkah ‘‘Jeda Kemanusiaan’’ pada 2000 sebagai kebijakan untuk menghentikan konflik berkepanjangan antara Pemerintah Indonesia dan GAM tidak benar-benar menghasilkan perdamaian. 

Berbagai kekerasan dan pelanggaran HAM masih terus terjadi.

Perundingan antara Pemerintah RI dan GAM di Swiss pada 6-10 Januari 2001 menyepakati moratorium kekerasan, yang kemudian mentransformasi perjuangan GAM yang tadinya melalui perjuangan bersenjata menjadi perjuangan politik. 

Akan tetapi, berbagai insiden kekerasan masih terjadi.

Momentum perdamaian muncul pada 2005 setelah terjadinya tsunami  Aceh. 

Indonesia dan GAM mengadakan pertemuan di Helsinki, Finlandia, menghasilkan berbagai kesepakatan damai yang mencakup pembangunan ekonomi, bendera lambang Aceh, dan pengungkapan pelanggaran HAM.

Perdamian sudah tercapai meskipun belum semua poin kesepakatan dilaksanakan. 

Pengungkapan kasus pelanggaran HAM belum seluruhnya diselesaikan. 

Hal ini menyisakan luka yang terpendam yang bisa sewaktu-waktu muncul lagi kalau terjadi gesekan baru.

Beberapa hari terakhir, para aktivis kemanusiaan dan demokrasi Aceh menggugat sikap pemerintah pusat yang dianggap mengabaikan aspirasi masyarakat lokal dan berpotensi menumbuhkan kembali luka lama. 

Pemerintah pusat melalui Mendagri Tito Karnavian menunjuk dua orang pejabat BIN (Badan Intelijen Negara) sebagai penjabat bupati, di Nagan Raya dan Kabupaten Pidie. 

Penunjukan ini menimbulkan protes karena tidak sesuai dengan aspirasi rakyat. Sebelumnya, Tito juga sudah menunjuk pensiunan jenderal TNI menjadi penjabat gubernur Aceh.

Para aktivis demokrasi bereaksi terhadap penunjukan itu. 

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengkritik pemerintah karena keputusan tersebut tidak sesuai dengan aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Pidie. 

Nama pejabat BIN tidak ada dalam tiga nama yang diusulkan DPRK Pidie. 

Ini berarti suara daerah juga masih tidak dipertimbangkan secara signifikan.

Perludem melihat pemilihan pejabat BIN sebagai pejabat kepala daerah menunjukkan pemerintah hanya melihat faktor kepangkatan. 

Pemerintah tidak memperhatikan kepakaran pejabat yang ditunjuk. 

Karier dan pengalaman di BIN dianggap tidak relevan dengan urusan-urusan pemerintahan daerah, sehingga aneh bila pejabat BIN diangkat sebagai penjabat kepala daerah.

Munculnya orang-orang BIN di pemerintahan daerah mempertunjukkan hubungan antara Tito Karnavian, yang mantan kapolri, dengan Budi Gunawan, kepala BIN yang juga jenderal polisi yang berpengaruh. 

Budi Gunawan dikenal mempunyai hubungan dekat dengan Megawati Soekarnoputri, ketua umum PDIP.

Budi Gunawan mempunyai jaringan politik yang kuat dan disebut-sebut menjadi arsitek rekonsiliasi antara Joko Widodo dengan Prabowo Subianto setelah Pilpres 2019. 

Rekonsiliasi itu sangat kontroversial karena ditolak oleh sebagian pendukung Prabowo. 

Meski demikian, rekonsiliasi itu menjadi salah satu langkah politik besar yang menunjukkan kepiawaian Budi Gunawan dalam bermain politik.

Kendati tidak berhasil menjadi kapolri karena terindikasi terlibat kasus korupsi oleh KPK, tetapi Budi Gunawan tetap memainkan peran strategis dalam posisinya sebagai kepala BIN. 

Jaringannya di kepolisian sangat kuat dan hubungannya dengan Tito Karnavian dan petinggi Polri sangat dekat, termasuk dengan ketua KPK Firli Bahuri.

Sampai 2024 mendatang, terdapat 270 kepala daerah yang habis masa jabatannya. Tito Karnavian sebagai menteri dalam negeri punya kewenangan untuk menunjuk orang-orangnya untuk mengisi jabatan itu. 

Para kepala daerah hasil penunjukan langsung itu akan memimpin daerahnya masing-masing dalam menghadapi pemilu legislatif dan pemilu presiden pada 2024. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai netralitas birokrasi dalam perhelatan politik itu.

Anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) Tamsil Linrung mencurigai adanya skenario politik yang melibatkan para kepala daerah ini. 

Mereka tidak dipilih oleh rakyat dan mendapatkan legitimasi dari Tito Karnavian, karena itu netralitas mereka dalam Pemilu 2024 menjadi pertanyaan.

Pada Pemilu 2019, terjadi insiden kemanusiaan yang mengerikan dengan meninggalnya 894 petugas KPPS (kelompok penyelenggara pemungutan suara) dalam waktu nyaris serentak. 

Selain itu, lebih dari 5.000 petugas KPPS mengalami sakit serius. 

Sampai sekarang, tidak ada penyelidikan serius mengenai kematian massal yang misterius itu.

Kasus ini dianggap selesai dan terkubur bersama para korban.

Muncul teori konspirasi yang mencurigai telah terjadi pembunuhan sistematis terhadap para petugas yang menjadi ujung tombak pemilu itu.

Mereka dihilangkan untuk menghilangkan jejak kecurangan yang terjadi pada penghitungan suara. 

Kecurigaan ini tinggal menjadi kecurigaan, karena tidak ada komisi yang dibentuk untuk menyelidikinya.

Skenario kecurangan yang sama dikhawatirkan akan terulang pada Pemilu 2024. 

Tito Karnavian sebagai menteri dalam negeri akan menjadi aktor penting dalam penyelenggaraan pemilu 2024. 

Dia diharapkan menjadi wasit yang netral dan tidak ikut menendang bola dalam perhelatan itu.

Dalam beberapa kesempatan Tito Karnavian dianggap terlibat dalam skenario politik. 

Dalam kasus dugaan korupsi yang melibatkan Gubernur Papua Lukas Enembe, Tito Karnavian disebut berusaha menyodorkan anak buahnya untuk mengisi posisi wakil gubernur Papua yang kosong.

Kubu Lukas Enembe mengatakan bahwa Tito Karnavian, bersama Menteri Bahlil Lahadalia, menemui Lukas Enembe untuk menitipkan Komjen Polisi Paulus Waterpauw menjadi wakil gubernur menggantikan Klemen Tinal yang meninggal dunia.

Gubernur Lukas Enembe menolak dengan halus dengan mempersilakan Paulus Waterpauw untuk mengumpulkan dukungan dari partai pengusung. 

Syarat ini tidak bisa dipenuhi dan Paulus Waterpauw gagal menjadi wagub Papua. Insiden ini disebut sebagai pemicu munculnya kriminalisasi terhadap Lukas Enembe.

Kontroversi ini menjadi perdebatan. Tito Karnavian memegang segepok cek kosong yang bisa diisinya dengan ratusan nama siapa saja untuk menjadi penjabat kepala daerah. 

Kasus Papua dan Aceh menjadi indikasi awal adanya permainan politik dalam penunjukan kepala daerah. 

Hubungan Tito Karnavian dengan Budi Gunawan akan menjadi sorotan untuk menguji netralitasnya.

Aceh dan Papua menjadi contoh kasus pertama. Dua wilayah itu kebetulan pernah menjadi DOM. 

Sekarang Aceh menjadi DOI (daerah operasi intelijen) dengan diangkatnya dua petinggi BIN sebagai penjabat kepala daerah. 

Papua dan daerah-daerah lain, sangat mungkin, akan menyusul menjadi DOI juga. (*)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
DOM   DOI   Tito Karnavian   Budi Gunawan   Aceh   Papua   Pemilu 2024   BIN  

Terpopuler