jpnn.com - JAKARTA – Pancasila merupakan ideologi terbaik bagi Indonesia. Pancasila bahkan dinilai terbaik di muka bumi ini karena mencakup seluruh sendi kehidupan manusia mulai dari ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan.
Dengan demikian, bangsa Indonesia wajib menerapkan dan terus mendalami falsafah Pancasila demi untuk mewujudkan keadilan, ketenteraman, kedamaian, dan kekuatan.
BACA JUGA: Penjara Dinilai Tak Bikin Kapok Pelaku Kejahatan Anak
“Jadi kalau ada orang yang ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi lain, maka mereka bukan WNI dan silakan keluar dari NKRI,” kata Wakil Rektor Bidang Kerjasama UIN Syarif Hidayatullah Murodi di Jakarta, Kamis (12/5).
Murodi menjelaskan, ideologi Pancasila itu juga mencakup Islam sebagai agama yang komprehensif dan mengandung ajaran yang sangat moderat serta rahmatan lil alamin.
BACA JUGA: COMING SOON! Babak Baru Kasus Sumber Waras
Artinya, Islam itu tidak hanya membawa keberkahan kepada alam dan manusia tapi seluruh makhluk ciptaan Tuhan seperti binatang, dan tumbuhan. Selain itu juga membawa kedamaian, kesejahteraan, keadilan.
“Semua sudah tercakup. Jadi apalagi yang mau diganti? Semua sudah ada alam Pancasila yaitu ketuhanan, kemanusiaan, keadilan. Makanya saya mendorong agar generasi muda kita kembali belajar falsafah Pancasila demi membangun karakter manusia Indonesia yang baik dan bermartabat,” jelas Murodi.
BACA JUGA: Ya Allah... Liputan di Tol, Reporter TV One Nyaris Diseruduk Bus
Terkait propaganda paham radikalisme dan terorisme, menurut Murodi, radikalisme itu sudah ada sejak manusia ada. Sekarang tugas bangsa Indonesia adalah menangkal gerakan radikalisme dan terorisme.
Dalam pandangannya, radikalisme dan terorisme itu terjadi akibat banyak faktor, tetapi dari banyak faktor itu, paling banyak persoalan ideologi agama. Dari situlah para penganut paham radikalisme dan terorisme itu tidak saja mengafirkan dan menganggap orang yang tidak seagama sebagai musuh. Bahkan yang seagama pun seringkali tetap dianggap musuh dan harus dimusnahkan.
Menurut Murodi, upaya-upaya mengafirkan itu sudah muncul sejak abad 7-8 Masehi. Saat itu, terjadi konflik internal dan perebutan kekuasan di banyak negara yang menjadi akar munculnya radikalisme.
Selain itu, tujuan mereka adalah menggulingkan kekuasaan politik. Makanya gerakan radikal itu muncul di negara-negara islam, termasuk di Indonesia.
“Mereka ingin mengganti ideologi negara dengan ideologi islam. Itulah salahnya, mestinya yang harus diajarkan ke masyarakat adalah bahwa negara ini didirikan oleh para pahlawan yang berideologi Pancasila yang digali dari sumber-sumber agama itu sendiri,” tutur Murodi.
Selain itu, Murodi menggarisbawahi tujuan kelompok radikal yang ingin mengganti NKRI menjadi khilafah. Ia justru mempertanyakan khilafah yang mana. Menurutnya, khilafah itu sudah habis dan sudah tidak ada.
Khilafah itu sudah hancur pada abad kedelapan Masehi, saat munculnya dinasti Bani Umayah. Tapi saat itu bukan khilafah, melainkan kerajaan (mulk). Menurutnya, khilafah itu sebenarnya terjadi saat era sahabat Nabi, Abubakar, Umar, Usman, dan Ali yang sistemnya demokrasi. Tapi setelah Muawiyyah, itu kerajaan monarki yang absolut.
“Mau diganti yang mana? Khilafah sudah selsai, tidak ada lagi. Bahwa model-modelnya boleh ditiru. Karena modelnya yang baik seperti equality (kesamaan), justice (keadilan), dan kebebasan. Itu doktrin agama,” jelas Murodi.
Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdatul Ulama (Wasekjen PBNU) Ishfah Abidal Aziz menilai, prinsip-prinsip hidup berbangsa dan bernegara yaitu dengan mengamalkan nilai-nilai Pancasila harus dhidupkan lagi di kalangan anak muda.
“Problem-nya yang selama ini terjadi Pancasila hanya menjadi konsep yang hanya sekadar dihafalkan dari sila kesatu sampai kelima. Harusnya nilai-nilai Pancasila diamalkan dan diwujudkan di setiap napas kehidupan bangsa Indonesia,” ujar pria yang biasa disapa Gus Ishfah ini.
Selain itu, empat pilar kebangsaan yakni Undang-Undang Dasar 1945, Pancasila, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika ini harus ditanamkan kembali kepada para generasi bangsa. Menurutnya, selama ini generasi muda enggan mengamalkan nila-nilai Pancasila akibat pengaruh dunia modern dan kebudayaan asing.
Gus Ishfah menilai, peran lembaga pendidikan sangat besar dalam membangun generasi Pancasila demi untuk membendung pengaruh paham radikalisme dan terorisme. Ia mengakui bahwa pelajaran mengenai keanekaragaman budaya nasional Indonesia yang merupakan perwujudan dari Bhinneka Tunggal Ika di sekolah-sekolah sudah banyak berkurang secara drastis.
Bahkan menurutnya, konten-konten buku ajar di sekolah-sekolah saat ini sudah masuk materi radikal dan materi antiPancasila.
“Mari kita lawan propaganda paham radikalisme dan terorisme mulai dari akar terbawah yang pendidikan. Kalau dunia pendidikan kita bisa menanamkan nilai-nilai Pancasila, Insya Allah kita akan terbebas dari pengaruh paham radikalisme dan terorisme,” pungkas Gus Ishfah. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Soal Pernyataan Saut, KPK: Masa Mau Berantem
Redaktur : Tim Redaksi