jpnn.com - JAKARTA – Perwakilan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyampaikan hasil kajian mengenai moratorium ujian nasional (unas) kepada Kantor Staf Presiden (KSP) di kompleks Istana Kepresidenan, kemarin (15/12). FSGI mendorong agar moratorium tetap diberlakukan.
Usai pertemuan tertutup, Sekjen FSGI menyatakan bahwa pada dasarnya usulan KSP kepada Presiden hampir sama dengan pihaknya.
BACA JUGA: IAIN STS Jambi jadi UIN Tinggal Lengkapi Administrasi
Namun, ada beberapa hal yang memang baru diketahui oleh KSP. Sehingga, kajian dari FSGI justru memperkuat rumusan usulan yang sudah ada di KSP.
Di antaranya, soal Kriteria Ketentuan Minimum (KKM) yang biasa tertulis di rapor. Selama ini KKM menjadi syarat agar siswa bisa tercatat di Data Pokok Pendiikan (Dapodik) agar bisa mengikuti unas.
BACA JUGA: PTS Curhat, Kurang Peluru Cetak Insinyur
’’Akibatnya, kasih nilai sambil merem saja, yang penting siswa bisa ikut unas,’’ terang Sekjen FSGI Retno Listyarti.
Begitu pula dengan kualitas SMK. Yang terjadi di lapangan, sangat sedikit SMK yang mengikuti perkembangan teknologi. Belum lagi, lulusan yang hanya mengandalkan magang selama tiga bulan, bahkan masih banyak SMK yang tidak punya laboratorium dan bengkel. Alhasil, lebih banyak teori dibandingkan praktik.
BACA JUGA: Uang KJP Bagi Mahasiswa Boleh Ditarik Kontan
Retno menuturkan, umumnya sekolah saat ini sudah bersiap-siap untuk dua kemungkinan. Baik unas maupun non unas.
Namun, dalam kondisi saat ini, yang paling siap untuk dilakukan bukan lagi unas, melainkan Ujian Sekolah Berstandard Nasional (USBN). Salah satunya karena waktu persiapan teknis unas sudah sangat terlambat.
Terutama dalam hal pengadaan soal dan lembar jawaban bila unas berbasis kertas. Sementara, belum semua daerah siap dengan unas berbasis komputer.
Sebenarnya, lanjut Retno, USBN pun bukanlah solusi yang paling ideal untuk menggantikan unas. USBN akan menimbulkan kesan memindahkan masalah dari pusat ke daerah.
’’Tetapi bahwa menteri sudah siap, menyiapkan guru, membuat soal, menyiapkan pola pengawasan, kami berpikir utk memberikan kesempatan,’’ lanjutnya.
Moratorium unas akan memberikan kesempatan kepada pemerintah dan stakeholder pendiikan merumuskan program yang lebih baik bagi siswa. USBN sebagai pengganti tentu akan dievaluasi pelaksanaannya sebagaimana unas.
Ada sejumlah alasan yang diajukan FSGI kepada Presiden melalui KSP. Pertama, unas tidak terbukti meningkatkan kualitas pendiikan.
’’UN membuat pembelajaran dan pengajaran menjadi kering,’’ tuturnya.
Kedua, ada disparitas antara mata pelajaran yang diujikan dalam unas dengan yang tidak.
Berikutnya, ketiga, saat ini kualifikasi guru maupun kualitas sarana pendiikan belum terpenuhi secara merata.
Sehingga, tidak mungkin dibuatkan soal ujian dengan indkator yang sama. Kemudian, penyelenggaraan unas dengan indikator sama merupakan bentuk ketidakadilan bagi siswa.
Alasan keempat, sebagian besar guru tidak bangga dengan hasil unas para siswanya. ’’Karena mereka melihat dan mendengar sendiri proses penyebaran kunci jawaban antarsiswa maupun kebocoran soal,’’ ucap Retno.
Berbeda dengan USBN di mana guru lah yang membuat soal sehingga tahu betul kemampuan muridnya. Guru juga tidak akan membiarkan siswa mencurangoi soal yang dia buat.
Berikutnya, dampak dari proses curang itu itu adalah hasil UN yang menggambarkan pemetaan ketidakjujuran.
Bukan pemetaan kualitas pendiikan. Kemudian, sepanjang unas dilaksanakan secara sentral, maka potensi kebocoran dalam perjalanan selalu ada. Unas juga menjadi faktor pendorong banyak pihak untuk tidak jujur.
Hal senada disampaikan pengawas FSGI Itje Chodijah. Dia menjelaskan, pihaknya sudah pernah bertemu dengan perwakilan Asosiasi Pengusaha Indonesia.
Apindo curhat atas minimnya lulusan sekolah menengah yang punya kualifikasi. ’’Kita belum cukup punya tenaga kerja yang terampil,’’ ujarnya.
Sistem yang ada saat ini lebih banyak mengajak siswa untuk menghafal dibandingkan berpikir. Itu merupakan konsekuensi atas adanya unas yang menguji kemampuan anak dalam menghafal. Alhasil, sekolah jarang membebaskan gurun untuk mengajak siswa bepikir.
Wakil Ketua Komisi X (Bidang Pendiikan) DPR Ferdiansyah meminta tarik ulur penyelenggaraan unas 2017 disudahi.
Dia mengakui masayarakat banyak yang menanyakan kejelasannya. ’’Termasuk di dapil saya, di Jawa Barat,’’ katanya di komplek parlemen kemarin (15/12).
Untuk menghindari tarik ulur unas lanjut atau dimoratorium, dia minta pemerintah konsisten menjalankan amanah UU 20/2003 tentang Sistem Pendiikan Nasional (Sisdiknas).
Ferdi mengatakan di pasal 58 UU Sisdiknas sudah mengatur dengan jelas. Ayat 1 pasal 58 jelas menyebutkan, evaluasi belajar peserta diik dilakukan oleh pendiik. Evaluasi itu digunakan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar.
Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendiikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala. ’’Sejak ada unas, siapakah lembaga mandiri yang menyelenggarakannya. Apakah lembaga mandiri itu Kemendikbud,’’ tuturnya.
Pemerintah selama ini mengklaim bahwa penyelenggara unas adalah Badan Standar Nasional Pendiikan (BSNP). Namun menurut dia peran BSNP dalam unas sangat kecil dan lebih diominasi Kemendikbud.
Ferdiansyah menjelaskan polemik penyelenggaraan unas tidak bisa terus dilanjutkan. Jika unas dimoratorium, segera putuskan pengganti pengukurannya apa.
Dia mengatakan penjelasan dari Kemendikbud soal moratorium belum tuntas. Rencananya akan digelar rapat lanjutan antara Mendikbud Muhadjir Effendy dengan Komisi X DPR.
Kepala Pusat Penilaian Pendiikan (Puspendik) Kemendikbud Nizam menjelaskan, selama ini pelaksanaan unas ditumpuki macam-macam. ’’Sampai penyet unasnya. Sehingga unas sering disalahkan,’’ kata dia. Banyaknya agenda di balik penyelenggaraan unas, membuat ujian tahunan ini menjadi momok bagi siswa maupun guru.
Nizam menjelaskan bahwa dalam penyelenggaraan unas selama ini, siswa kesulitan mengecar nilai standar kompetensi lulusan (SKL).
Dalam unas 2016 nilai SKL ditetapkan sebesar 55 poin dari nilai maksimal 100 poin. Dia mengungkapkan di SMP ada sekitar 40 persen peserta unas tidak bisa mengejar SKL.
Kemudian di SMA sebesar 50 persen peserta tidak mampu menggapai skor SKL 55 poin itu.
’’Melihat unas harus dari hulunya,’’ kata dia. Hulu unas adalah proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Rata-rata guru hanya mengajar siswa pada kemampuan what (apa).
Sementara untuk kemampuan how (bagaimana) dan why (kenapa) masih rendah. Dia mengamati kondisi ini dari soal-soal ujian yang dibuat oleh guru.
Dia mencontohkan pada mata pelajaran sejarah, guru lebih sering membuat soal kapan perang Diponegoro pecah dan tokoh-tokoh di dalamnya. Guru jarang membuat soal kenapa perang Diponegoro sampai pecah. ’’Padahal why itu aspek analisisnya lebih tinggi,’’ jelasnya. (byu/wan/sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tanah Retak, Anak-Anak Ini Terpaksa Belajar di Ruang Karawitan
Redaktur : Tim Redaksi