jpnn.com - KURANG dari setahun lagi, ASEAN Free Trade Area (AFTA) diluncurkan. Bila tidak bersiap dan kalah bersaing, Jawa Timur (Jatim) hanya akan menjadi pasar. Hanya menjadi konsumen, sementara devisa tersedot keluar. Pasar tenaga ahli dikuasai orang asing. Orang Jatim hanya menjadi buruh kasar di rumah sendiri.
Gambaran suram mengenai kondisi sosial-ekonomi Jatim di atas disadari betul oleh Gubernur Jatim Soekarwo. Untuk itulah, dia telah dan akan mengeluarkan sejumlah regulasi yang memberikan perlindungan terhadap pasar dan industri dalam negeri.
BACA JUGA: Banyak Masalah, Pendidikan Gratis Perlu Dikaji Ulang
”Masalah AFTA ini seharusnya sudah mendesak. Waktunya kurang dari setahun lagi. Kalau tidak, hal buruk akan terjadi,” kata gubernur. Celakanya, pemerintah pusat masih berkutat pada pergantian kepresidenan dan tidak ada satu pun kementerian yang mengoordinasikan soal AFTA tersebut. Soekarwo menyatakan belum pernah diajak rapat koordinasi para gubernur terkait dengan pelaksanaan AFTA.
Soekarwo kemudian membuat sejumlah ancang-ancang regulasi untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat Jatim. Untuk bidang ketenagakerjaan, Pemprov Jatim membuat perda atau pergub yang tegas mengatur hal tersebut.
BACA JUGA: Diterima PNS, Guru 3T Tetap di Pelosok
”Untuk sementara barrier (penahan) yang disahkan hanya yang tarif. Yang nontarif belum diatur. Ini kesempatan untuk melakukan perlindungan,” jelas orang nomor satu di jajaran pemerintahan Jatim tersebut.
Intinya, regulasi itu menyatakan bahwa tenaga asing yang datang hanya diperbolehkan untuk tenaga ahli yang memang belum disediakan SDM lokal. Orang asing yang ingin menjadi tenaga ahli, padahal di Jatim sudah banyak, akan dibuatkan semacam aturan.
BACA JUGA: Menkes: Tutup FK Abal-abal
Soekarwo mencontohkan mengenai dosen. ”Tidak serta-merta orang Vietnam atau Thailand yang ingin menjadi dosen di Jatim bisa langsung bekerja. Tapi, harus ada tes terlebih dahulu,” paparnya. Selain mampu berbahasa Indonesia, para dosen itu harus mengerti kultur Jawa Timur, terutama karakter mahasiswanya.
Begitu pula dokter. Seorang dokter asal Kamboja harus menguasai betul penyakit-penyakit tropis yang kerap berjangkit di Jatim. ”Kalau tidak begitu ya percuma mendatangkan dokter asing. Sebab, dokter lokal jauh lebih paham tentang penyakit di sini,” katanya.
Itu di bidang jasa dan ketenagakerjaan, treatment perlindungan untuk sektor riil agak berbeda. Untuk yang satu itu, Pemprov Jatim menyiapkan jurus lain guna melakukan proteksi. Yakni, dengan meningkatkan standar masuk bagi produk asing yang ke Jatim.
”Misalnya, bila skor standar ASEAN untuk produk masuk adalah 5, kami menaikkannya menjadi 6,” paparnya. Dengan begitu, tidak semua produk ASEAN boleh masuk. Soekarwo terang-terangan menyebut bahwa langkah itu ditirunya dari Jerman dan Swiss. Yang kebijakan impor masuknya dinaikkan dari level Uni Eropa.
Bukan itu saja, Soekarwo juga akan membina sekitar 700 ribu UMKM di Jawa Timur untuk menaikkan kualitas produk serta industri packaging-nya.
”Ini sudah saya masukkan dalam APBD 2015. Ini tidak membutuhkan biaya mahal. Cukup merekrut universitas-universitas, yang pada gilirannya akan memberikan semacam training peningkatan nilai tambah produk mereka,” paparnya.
Yang digalakkan adalah tidak menjual langsung bahan mentahnya. ”Jangan jual nangkanya, tapi juallah keripik nangka,” ujarnya. Dengan dikemas dalam packaging modern yang menarik, seorang petani nangka bisa mendapatkan hampir tujuh kali lipat lebih banyak bila menjual keripik ketimbang nangkanya saja.
Selain itu, universitas-universitas akan bertugas untuk membuat pelaku UMKM menaikkan standar produknya menjadi minimal 6. ”Lucu bila kami mengeluarkan beleid (kebijakan) soal standar produk yang boleh masuk, tapi yang beredar di pasaran produk-produk lokal yang kualitasnya di bawah standar,” papar mantan Sekdaprov Jatim tersebut.
Karena itu, Soekarwo berambisi bahwa dengan dibukanya kebebasan berdagang di ASEAN melalui AFTA 2015, Jatim harus menjadi pemain. Bukan hanya menjadi pasarnya. ”Kami melihat ini sebagai sebuah kesempatan. Kalau bisa, produk dan tenaga kerja Jatim-lahyang akan berseliweran di mana-mana. Bukan sebaliknya,” ungkapnya.
Risikonya cukup tinggi. Bila ekonomi Jawa Timur terpukul, kehidupan ekonomi di kawasan Indonesia bagian timur juga hancur. Sebab, Jawa Timur adalah penyangga kawasan Indonesia Timur. Total produknya menguasai 90 persen pasar kawasan Indonesia Timur.
Di seluruh Indonesia, Jawa Timur menguasai 31,9 persen ekonomi nasional. Artinya, sepertiga kekuatan ekonomi nasional ditopang Jawa Timur. Bila ekonomi provinsi ini berantakan terkena AFTA, bisa dibayangkan efeknya di seluruh Indonesia.
Di bagian lain, anggota Komisi E DPRD Jawa Timur Achmad Iskandar mendukung beleid yang dikeluarkan Pemprov Jatim tersebut. ”Kami siap menyusun perda terkait masalah ini. Sebab, ini menyangkut kesejahteraan masyarakat Jatim,” katanya. Komisi E memang membidangi kesejahteraan masyarakat.
Iskandar mengungkapkan, pihaknya sempat menanyakan kesiapan pemerintah dalam AFTA itu ke Jakarta. Hasilnya, memang belum ada skema jelas bagaimana menghadapi AFTA. ”Ini sesuatu yang menggelisahkan. Pasar bebas yang tunggal sudah di depan mata, tapi nyaris tidak ada persiapan. Tapi, bila Pemprov Jatim berinisiatif membuat banyak regulasi untuk mengantisipasinya, kami akan mendukung,” tegasnya.
Hanya, Iskandar meminta rencana Pemprov Jatim untuk memberdayakan dan meningkatkan kualitas UMKM tidak sekadar lip service.
”Tidak lantas hanya diberi pelatihan tiga hari, sesudah itu ditinggal. Harus ada pendampingan sehingga UMKM yang ada benar-benar mampu mencapai standar yang ditetapkan, kemudian dibantu pemasarannya,” urai mantan kepala Biro Administrasi Pemerintahan Pemprov Jatim tersebut.
Iskandar mengatakan, yang terpenting adalah jangan sampai masyarakat Jatim hanya menjadi konsumen dan jongos di wilayahnya sendiri. ”Menurut saya, nasionalisme kini harus dimaknai sebagai perjuangan untuk melawan penjajahan ekonomi yang sudah di depan mata,” katanya. (ano/c7/end)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Inilah SMP yang Hanya Punya 1 Guru PNS
Redaktur : Tim Redaksi