jpnn.com - JAKARTA- Komite I DPD RI menilai terbitnya Keppres No. 17 Tahun 2022, Keppres No. 4 Tahun 2023, dan Inpres No. 2 Tahun 2023 tentang penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM berat, telah memicu kontroversi di tengah masyarakat.
Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono mengungkap hal tersebut saat membuka RDP dengan Menko Polhukam Mahfud MD, perwakilan Kejaksaan Agung Wakil dan dari Badan Intelijen Negara, di Nusantara V Komplek Parlemen, Jakarta, Selasa (4/7).
BACA JUGA: Kemendikbudristek Serahkan Beasiswa Kepada Anak Korban Pelanggaran HAM Berat di Aceh
"Kami juga telah mengundang para pakar untuk mendapatkan gambaran. Perhatian kami berkaitan peristiwa pada 1965,” ujar Nono.
Wakil Ketua Komite I DPD RI Filep Wamafma juga mempertanyakan, seberapa penting presiden mengeluarkan keppres dan inpres tersebut.
BACA JUGA: Jokowi Bakal Terbitkan Aturan Baru untuk Selesaikan Pelanggaran HAM Berat
"Bagaimana pemerintah akan mengakomodir peristiwa 1965 diselesaikan secara nonyuridis," tuturnya.
"Pertanyaan kami, kenapa pelaku pelanggaran yang sudah bertahun-tahun itu tidak ada kejelasannya,” imbuh Filep.
BACA JUGA: Presiden Jokowi: Dengan Kepala Jernih, Negara Mengakui Terjadi Pelanggaran HAM Berat
Pada RDP itu, Menko Polhukam Mahfud MD menjelaskan penyelesaian kasus pelanggaran masa lalu, termasuk peristiwa tahun 1965 memang sulit.
"Sangat sulit. Itu sulit dibuktikan karena peristiwa ini sudah bertahun-tahun," ujarnya. (*/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mufthia Ridwan