jpnn.com - JAKARTA - Peneliti Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mendesak agar anggota DPR periode 2014-2019 memprioritaskan reformasi regulasi jika sudah resmi duduk sebagai wakil rakyat. Tak hanya DPR, dia juga meminta pasangan Jokowi-JK memperhatikan hal yang sama dalam kerjannya nanti. Menurutnya, dengan reformasi regulasi maka kualitas undang-undang (UU) dapat meningkat.
"Agar kualitas UU dapat meningkat yang pada akhirnya akan menjamin kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan," kata Bayu dalam Seminar Nasional sekaligus peluncuran buku karyanya berjudul Perkembangan Pembentukan Undang-Undang di Indonesia, di Gedung MPR, Jakarta, Senin (1/8).
BACA JUGA: Panselnas Segera Sikapi Pengaduan Pelamar CPNS Online
Menurutnya, DPR baru dan Jokowi-JK harus menempatkan pembenahan kinerja legislasi atau reformasi regulasi sebagai salah satu prioritas kerja utama. Jika tidak, maka pemborosan anggaran pembentukan UU akan turut mendorong defisit APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara.
Menurut dia, reformasi regulasi dapat dilakukan oleh DPR bersama Presiden melalui beberapa cara. Pertama, perbaikan perencanaan pembentukan UU melalui program legislasi nasional (Prolegnas). Kedua, meningkatkan kerangka kelembagaan dan kapasitas untuk UU yang lebih baik.
BACA JUGA: Jangan Lupakan Peran Tim Advokasi Jokowi-JK
Ketiga, peningkatan kualitas pembentukan UU dengan memperkuat dan meningkatkan penilaian dampak peraturan baru. Keempat, perbaikan proses konsultasi masyarakat dalam pembentukan UU. Kelima, Evaluasi secara rutin terhadap UU yang berlaku. Keenam, memanfaatkan teknologi informasi untuk pengambilan keputusan mengenai pembentukan UU, dan penyebarluasannya di semua tingkat pemerintahan dan masyarakat.
Dia melanjutkan, Prolegnas yang tidak masuk akal sebagaimana terlihat pada 2014 harus dihindari. Sebab, dari 68 Rancangan Undang-Undang (RUU) Prolegnas 2014, sekitar 21 RUU dapat dikualifikasi tidak layak diatur oleh UU. Di antaranya adalah RUU mengenai Kesehatan Jiwa, RUU tentang Pengawasan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dan RUU tentang Tabungan Perumahan Rakyat.
BACA JUGA: Ini Alasan Priyo Mau jadi Ketum Golkar
"Sebaiknya ke depan harus ada pengetatan syarat dengan penggunaan sejumlah kriteria bagi RUU yang akan lolos masuk Prolegnas menjadi kunci untuk menghentikan jumlah RUU prioritas yang selalu besar. Di lain sisi hal itu memastikan agar UU yang dihasilkan lebih memiliki kualitas," imbuh Bayu.
Idealnya, kata dia, kekuatan pembahasan RUU di DPR jika dihitung rata-rata adalah sekitar 19-20 RUU per tahun, di luar RUU daftar kumulatif terbuka.
Menurut Bayu, sampai dengan 3 kali periode DPR (1999-2004, 2004-2009, 2009-2014) kinerja legislasi DPR bersama dengan presiden masih mengecewakan baik aspek kuantitas maupun kualitas.
"DPR salah memahami bahwa kekuasaannya dalam pembentukan UU adalah tanpa batas sepanjang mendapat persetujuan bersama dengan Presiden (paham kekuasaan belaka). Pembentukan UU juga dimaknai hanya menjadi kepentingan DPR dan Presiden semata," ucapnya.
Sementara itu Pimpinan Tim Kerja Sosialisasi MPR Achmad Basarah menilai proses pembuatan UU terjadi karena pejabat pembuat UU memiliki pemahaman yang rendah terhadap Pancasila. Kata dia, selama periode 2003-2013 Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan 519 perkara pengujian UU. Dimana sebanyak 133 perkara atau sekitar (26 persen) telah dikabulkan MK. "Mayoritas pejabat pembuat UU telah kehilangan pedoman memahami tafsir Pancasila sebagai sumber hukum," kata Basarah.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini juga menyatakan, para pendiri bangsa telah menetapkan Pancasila sebagai sumber filsafat, dan jiwa negara Indonesia yang merdeka. Karena itulah, lanjut dia, pembentukan UU tidak hanya harus merujuk UUD 1945 sebagai tapi juga Pancasila segala sumber hukum pembentukan undang-undang. (mas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemda Ogah Urus Pendataan Honorer K2 Gagal Tes
Redaktur : Tim Redaksi