DPR Ingatkan Soal Ancaman Deindustrialisasi

Senin, 27 September 2010 – 18:01 WIB
JAKARTA - Ketua Komisi VI DPR RI, Airlangga Hartarto, mengingatkan pemerintah akan ancaman deindustrialisasi, yang mengakibatkan rendahnya daya serap tenaga kerja dan tingginya impor barang konsumsi (consumer goods) dibanding barang modal (capital goods) sejak enam bulan terakhir.

"Pasca pemberlakuan perdagangan bebas ASEAN-Cina (CAFTA), barang konsumsi dari Cina terus membanjiri pasar dalam negeri, di tengah melemahnya daya saing produk dalam negeri(Ini) diiringi naiknya angka pengangguran, sebagai konsekuensi dari rendahnya tingkat pertumbuhan industri, bahkan (juga) banyaknya perusahaan yang tutup dan merelokasi pabrik perusahaan asing," kata Airlangga Hartarto, di DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (27/9).

Tingginya impor barang konsumsi, lanjut Airlangga, telah memicu kekhawatiran berbagai pihak, karena berpotensi mendefisitkan neraca perdagangan Indonesia terutama dengan Cina

BACA JUGA: Kadin Diminta Bangun Iklim Usaha Tanpa KKN

"Data yang dikeluarkan Badan Pusat statisik (BPS), enam bulan terakhir terjadi defisit perdagangan dengan Cina, dan ini menkhawatirkan banyak pihak," tegasnya.

Fakta BPS tersebut, katanya lagi, harus menjadi alarm bagi pemerintah RI untuk meningkatkan produktivitas
"Pertumbuhan ekonomi itu penting

BACA JUGA: Chinatrust Gandeng Enam Agen Properti Nasional

Tapi pertumbuhan tersebut haruslah yang mampu menciptakan lapangan kerja,” ujar politisi dari Partai Golkar itu.

"Kalau kondisi tersebut tidak diantisipasi dengan cermat oleh pemerintah, maka ke depan angka pengangguran akan terus meningkat, karena kurangnya barang modal yang diharapkan mampu menciptakan lapangan kerja," imbuhnya.

Selain itu, Airlangga juga mengingatkan soal kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), yang berada di kisaran Rp 9.000 "Kurs rupiah itu mempersulit eksportir memasarkan produknya ke luar negeri," ujarnya.

Menurut dia, kurs ideal untuk menjaga stabilitas perdagangan dengan luar negeri adalah pada kisaran Rp 9.200 sampai Rp 9.500
"Kita juga harus mewaspadai nilai tukar yang kondusif bagi eksportir Indonesia

BACA JUGA: Asia Makin Kebal Krisis

Idealnya Rp 9.200 sampai Rp 9.500, agar kita tidak kesulitan dalam mengekspor produk dalam negeri," ujarnya, sembari mengatakan rupiah yang terlalu kuat akan menyulitkan eksportir dalam negeri, dan sebaliknya jika terlalu lemah juga tak menguntungkan pertumbuhan ekonomi.

Menyikapi kondisi itu, Airlangga berharap pemerintah mendukung kalangan industri dan dunia usaha untuk meningkatkan daya saingApalagi selama ini, di sisi lain, pemerintah Cina memberikan dukungan penuh terhadap industrinya, khususnya yang berorientasi ekspor - tidak seperti pemerintah Indonesia.

Sebelumnya, DPR juga pernah merekomendasikan agar pemerintah menunda pemberlakuan CAFTA, sebagai upaya riil melindungi produk lokal melalui pemberlakuan hambatan non-tarif di samping menerapkan standar nasional Indonesia (SNI)Selain itu, pemerintah juga diwajibkan memberikan sertifikasi bagi produk-produk konsumsi, serta memperkuat kebijakan perlindungan, seperti yang dilakukan beberapa negara - termasuk AS - dalam membendung membanjirnya produk asal Cina(fas/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mustafa Rombak Petinggi Kementerian


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler