DPR: Kementerian BUMN Berpendapat Tidak ada yang Salah

Kamis, 11 Januari 2018 – 23:33 WIB
Kantor Kementerian BUMN. Foto: Ricardo/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR Narsil Bahar kembali mencermati mengenai pembentukan holding BUMN.

Narsil menilai ada dua hal yang harus diperhatikan dari pembentukan holding BUMN dan harus benar terkonfirmasi. Pertama dari aspek hukum, yang pertama dan utama adalah kesesuaian dengan konstitusi.

BACA JUGA: Semua Dianggap Bakal Selesai Dengan Pembentukan Holding BUMN

"Kementerian BUMN berpendapat tidak ada yang salah dari langkah pembentukan holding BUMN melalui skema inbreng saham pemerintah di satu BUMN ke BUMN yang lain. Karena yang terjadi adalah hanya penggeseran investasi pemerintah dari kekayaan negara yang sudah dipisahkan dari satu tempat ke tempat lain, di mana pemilik akhirnya atau ultimate owner-nya adalah pemerintah," ujar Narsil.

"Karena penerima inbreng saham pemerintah ini adalah BUMN yang 100 persen dimiliki negara. Di sinilah letak pemahaman fundamental kementerian BUMN tentang BUMN Indonesia yang bermasalah," terangnya.

BACA JUGA: Komisi VII Usul Kewenangan Kementerian BUMN Dikurangi

Dengan konsep tersebut, sambung Narsi, terlihat jelas bahwa Kementerian BUMN melihat BUMN hanya sebagai tempat investasi kekayaan negara. Negara menentukan dimana tempat berinvestasi dan dapat dipindah kemana pun dengan pertimbangan mana yang memberikan nilai lebih besar.

Dengan konsep holding BUMN melalui skema inbreng ini maka BUMN di sektor strategis tersebut seperti antam, bukit asam juga perusahaan gas negara menjadi anak usaha BUMN dan tidak lagi berstatus BUMN.

BACA JUGA: Holding Migas Dinilai Munculkan Banyak Masalah Baru

"Ini jelas sekali melanggar konsep konstitusi tersebut. Pengelolaan sektor strategis melalui anak usaha BUMN yang merupakan perseroan terbatas atau bukan BUMN yang terkekang oleh UU perseroan terbatas No 40 tahun 2007 dan kebijakan holdingnya. Apakah satu lembar saham dwi warna di anak usaha BUMN bisa memberikan hak yang sama bagi negara seperti hal di BUMN? Jawabnya jelas tidak bisa! Ini bentuk degradasi penguasaan negara," sebutnya.

Masalah hukum yang kedua, lanjut Narsil adalah bagaimana kementerian BUMN menerjemahkan BUMN yang profesional sebagai perusahaan yang bebas intervensi politik, sehingga dinyatakan bahwa pergeseran kekayaan negara dengan inbreng saham ini tidak memerlukan persetujun dari DPR. Hal ini tersebut eksplisit dalam PP No 72/2016, walaupun saham negara di BUMN berasal dari APBN namun mekanisme inbreng tidak melalui mekanisme APBN.

"Seolah lupa bahwa keputusan MK jelas bahwa kekayaan negara yang dipisahkan di BUMN tetap dinyatakan sebagai kekayaan negara dan tetap dalam pengawasan BPK. Perubahan status BUMN menjadi anak usaha BUMN seolah menjadi usaha untuk dapat keleluasaan dalam pemanfaatan kekayaan negara, tanpa pengawasan dan persetujuan dari DPR seperti ketika berstatus BUMN," katanya.(chi/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Holding BUMN, Pemerintah Kembali Diingatkan Agar Hati-hati


Redaktur & Reporter : Yessy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler