jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi I DPR RI Dave Laksono mengatakan Indonesia perlu melakukan pengesahan terhadap revisi UU ITE sebagai landasan hukum yang komprehensif dalam membangun kebijakan identitas. Termasuk, perkembangan digital dan layanan sertifikasi elektronik lainnya.
“Indonesia membutuhkan sebuah landasan hukum yang komprehensif dalam membangun kebijakan identitas dan perkembangan digital serta layanan sertifikasi elektronik lainnya,” kata Dave dalam diskusi Forum Legislasi bertajuk “Revisi UU ITE Disahkan, Upaya Perkuat Sistem Keamanan Transaksi Elektronik” di Media Center DPR RI, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (12/12/2023).
BACA JUGA: Revisi UU ITE: 14 Pasal Diubah, Ada Tambahan 5 Aturan
Dave menekankan pengembangan sektor informatika, komunikasi, dan sektor digital harus terus dilakukan.
Pasalnya, sektor ini berpotensi memberikan kontribusi yang cepat dan masif bagi kemajuan ekonomi Indonesia.
BACA JUGA: Revisi UU ITE, Pemerintah Usulkan 7 Perubahan Materi, Apa Saja?
“Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, menjadi kebijakan besar untuk menghadirkan ruang digital yang bersih, sehat beretika, produktif, berkeadilan, bermoral serta mengedepankan perlindungan kepentingan umum bagi masyarakat dan negara,” kata Dave.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III Habiburokhman menyatakan revisi UU ITE menjadi salah satu upaya perbaikan dalam transaksi digital. Indonesia, kata dia, harus beradaptasi dengan perkembangan zaman yang terbilang cepat.
BACA JUGA: Koalisi Serius Temukan Seabrek Ancaman dalam Draf Revisi UU ITE
"Hukum itu kan harus transformatif, kita ini harus mengikuti gerak dinamika di masyarakat," kata Habiburokhman.
Hal senada disampaikan Ketua Asosiasi Digital Trust Indonesia (ADTI) Marshall Pribadi.
Dia menyatakan pihaknya menyambut baik Penyelenggara Sertifikasi Elektronik (PSE) yang berinduk dan berizin ke Kemenkominfo.
Marshall mencontohkan aturan yang didukung penuh ADTI dalam revisi UU ITE yang baru disahkan.
Salah satunya, pada pasal 17 yang mengatur secara konkret jika transaksi elektronik berisiko tinggi bagi para pihak wajib menggunakan tanda tangan elektronik yang diamankan dengan sertifikat elektronik.
Menurut Dave, tanda tangan elektronik (TTE) yang diamankan dengan sertifikat elektronik itu menggunakan teknologi hashing dan enkripsi menggunakan infrastruktur kunci publik, telah diatur dengan rinci dari UU ITE, PPPSTE hingga Permenkominfo tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik (PSrE), terdapat pengamanan mulai dari algoritma, prosedur, hardware dan software yang sangat rigid, Kominfo juga mengaudit setiap tahun.
Dengan demikian, dokumen yang ditandatangani menggunakan TTE tersertifikasi, itu di enkripsi dengan privasi masing-masing signer, yang menjamin kalau ada perubahan satu titik, satu koma, akan ketahuan secara matematis," katanya.
Ketua Tim Peliputan, Biro Hubungan Masyarakat, Kemenkominfo M Taufiq Hidayat memberi penilian yang sama soal revisi UU ITE tersebut.
Menurut Taufik, perubahan kedua UU ITE itu memberikan peluang bagi pemerintah untuk menjamin bahwa ekonomi digital itu dapat dikembangkan secara optimal.
“Hampir semua aktivitas digital dalam kurun 3-5 tahun terakhir berkembangnya itu dari sektor ekonomi, perbankan, jasa dan sebagainya. Jadi, ke depan, salah satu yang akan ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan pengaturan turunan UU ITE,” kata Taufik.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari