DPR: Revisi UU MK Konstitusional

Jumat, 16 September 2011 – 16:04 WIB

JAKARTA  - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menyatakan,  revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK) tidak bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

DPR menilai, pemilihan ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dalam satu putaran meskipun dapat dikategorikan sebagai pilihan kebijakan pembuat Undang-Undang, namun tidak bertentangan bila dikaitkan dengan persyaratan hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud Pasal 24C ayat 5 UUD 1945.
    
"Pilihan itu memiliki latar belakang alasan yang kuat dikaitkan dengan persyaratan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat 5 UUD 1945," kata Anggota DPR Dimyati Natakusumah, dalam sidang  pengujian UU Nomor 8 tahun 2011 atas perubahan UU Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) di gedung MK Jakarta, Jumat (16/9).
    
Menurut Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) ini, pemilihan ketua MK dan wakilnya dalam satu putaran tidak semata didasarkan pada sisi efektivitas dan efisiensi, akan tetapi berdasarkan persyaratan hakim konstitusi yang memiliki kapasitas negarawan.

Dimyati  juga mengungkapkan,  bahwa Pemilihan ketua dan wakil ketua MK yang dikaitkan dengan pasal 24C ayat 5 UUD 1945 yaitu hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.

Hal ini diungkapkan Dimyati terkait pengujian Pasal 4 ayat 4f, ayat 4g dan ayat 4h UU MK yang mengatur tentang pemilihan ketua dan wakil ketua MK dalam satu putaran.
    
Tentang Pasal 15 UU MK, Dimyati mengungkapkan batasan usia 47 sebagai hakim konstitusi merupakan pilihan DPR dengan dasar pada usia tersebut seseorang telah memiliki kematangan sebagai negarawan.
    
"Pengaturan batasan usia minimal untuk menduduki jabatan publik tertentu dalam UU, DPR mengutip pertimbangan MK dalam beberapa perkara yang menyatakan penentuan batasan usia minimal merupakan pilihan kebijakan pembuat UU untuk menentukannya," jelasnya.
    
Untuk Pasal 26 ayat 5 UU MK, Dimyati mengatakan, masa jabatan hakim konstitusi lima tahun dapat menimbulkan konsekuensi hukum manakala terjadi pemberhentian ditengah jalan, seperti meninggal dunia, mengundurkan diri dengan alasan meninggal dunia, umur 67 tahun, kesehatan.
    
Menurut dia, DPR mengambil kebijakan bahwa pengisian jabatan hakim yang diberhentikan merupakan penggantian hakim dalam masa jabatan"Karena itu,  hakim konstitusi yang menggantikan melanjutkan sisa jabatan hakim konstitusi yang digantikan," kata Dimyati.
    
Sedangkan Pasal 27A tentang pengajuan hakim MK dikaitkan dengan kelembagaan kata Dimyati, secara moral ketiga lembaga yang mengajukan, yakni DPR, pemerintah dan Mahkamah Agung (MA) memiliki tanggungjawab atas perilaku hakim konstitusi yang diajukan.
    
Dia juga menegaskan, sepanjang berkaitan dengan perilaku hakim tidak cukup alasan untuk menyatakan akan terjadi intervensi dari lembaga-lembaga yang mengajukan hakim konstitusi terhadap pelaksanaan tugasnya

BACA JUGA: 4 Saksi Kasus Kemenakertrans Dicegah ke Luar Negeri

"Penempatan wakil dari masing-masing lembaga sebagai unsur dalam majelis kehormatan memiliki alasan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim," ujarnya.
    
Untuk Pasal 57 UU MK yang tidak membolehkan putusan MK tidak memiliki kewenangan membentuk norma baru lanjut Dimyanti,  pembentukan UU secara konstitusional adalah kewenangan pemerintah dan DPR
"Jika MK dalam putusannya membuat norma baru maka MK telah melebihi kewenangan yang diberikan oleh UUD," ucapnya.
         
Menanggapi pernyataan DPR tentang pemilihan ketua dan wakil ketua MK satu putaran, Hakim Konstitusi Akil Moctar menanyakan jika ada hakim yang abstein

BACA JUGA: Presiden Pantau Kasus Hukum Menteri

Menurutnya, dari sembilan hakim MK, jika satu hakim abstein, enam memilih ketua dan dua sisanya memilih hakim yang berbeda, bagaimana menentukan wakilnya yang membutuhkan suara terbanyak kedua
"Ini kan tidak mungkin diselesaikan satu putaran, jika dipaksakan dua putaran akan menabrak UU  dan itu akan dipertanyakan legalitasnya," kata Akil.
    
Menanggapi pertanyaan ini, Dimyati mengatakan,  hal tersebut bisa dituangkan dalam peraturan internal MK untuk mengaturnya.

Diketahui, Pengujian UU MK yang baru ini diajukan oleh sejumlah akademisi, yakni pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Saldi Isra bersama dengan Arief  Hidayat, Zainal Daulay, Zaenal Arifin Mochtar, M

BACA JUGA: Marzuki: Tak Pilih Pimpinan KPK, Dituduh Cari Gara-gara!

Ali Syafa'at, Yuliandri, dan Feri AmsariPara pemohon menilai UU MK yang baru ini berpotensi merusak MK sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang independenMereka menguji Pasal 4, Pasal 15, Pasal 27A, Pasal 57, dan  Pasal 59 Perubahan UU MK(kyd/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... PPATK Temukan 21 Transaksi Mencurigakan yang Melibatkan Anggota Banggar


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler