jpnn.com, JAKARTA - Ekonom senior INDEF Dradjad Hari Wibowo mengaku belum terlalu khawatir dengan skema bank peserta alias bank jangkar di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2020 mengenai Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
"Saya belum terlalu khawatir dengan skema bank peserta dalam PP tersebut, atau yang populer disebut bank jangkar tersebut. Kenapa? Karena, jumlah dana yang disalurkan masih peanuts. Kecil sekali. Hanya Rp 35 triliun," sebut Dradjat saat dihubungi jpnn.com, Selasa (19/5).
Menurut mantan legislator Senayan ini, jumlah tersebut hanya 0,6-07 persen dari seluruh kredit perbankan. Jika dibandingkan dengan NPL yang sudah dipublikasikan, dia hanya sekitar 22-23% NPL.
"Angka Rp 35 triliun itu juga hanya sekitar 30% dari nilai kredit yang direlaksasi, yang per akhir April 2020 disebut mencapai Rp 113,8 triliun," terang waketum PAN ini.
Terkait kekhawatiran adanya conflict of interests ataupun beban bagi bank Himbara, Dradjad menyebutkan bahwa bank sudah biasa menyalurkan kredit atau melakukan penempatan ke bank lain.
BACA JUGA: PSI: Skema Bank Jangkar Bakal Munculkan Masalah Baru
Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia, per Februari 2020 kredit antarbank mencapai Rp 65,8 triliun.
"Itu hampir dua kali lipat dana untuk bank jangkar. Penempatan dana antarbank bahkan lebih tinggi nilainya, sebesar Rp 254 triliun per Februari 2020," ungkap mantan ketua Dewan Informasi Strategis dan Kebijakan (DISK) Badan Inteliten Negara ini.
Untuk melakukan kredit ataupun penempatan antarbank, lanjut Dradjad, tentu bank saling menilai satu sama lain. Maka, jika bank peserta menilai proposal bank pelaksana, itu bukan sesuatu yang baru. Nah, pihaknya justru mempermasalahkan dua hal lain dalam skema tersebut. Pertama, uangnya terlalu kecil.
"Informasi yang saya peroleh dari teman-teman pengusaha, kesulitan likuiditas yang mereka alami sudah sangat berat. Untuk menambalnya, perlu dana besar sekali. Kata mereka, bahkan lebih besar dari Rp 1600 triliun yang disebut Kadin. Jika benar demikian,uang Rp 35 triliun itu hanya peanuts," tutur Dradjad.
Kedua, tambahnya, dari sisi keadilan. Saat banyak pihak kesulitan likuiditas, lalu ada 3 bank yang digosipkan akan menjadi bank jangkar dan menerima kucuran likuiditas. Tentu direksi bank tersebut lebih mementingkan restrukturisasi nasabahnya sendiri.
"Untuk nasabah mereka sendiri saja uang Rp 35 triliun itu belum tentu cukup. Jadi bisa saja restrukturisasi di bank lain itu hanya untuk pantas-pantasan saja nantinya," tandas Dradjad.(fat/jpnn)
BACA JUGA: Ada 15 Perbankan Ditunjuk Jadi Bank Jangkar, Hergun Sentil KSSK
BACA JUGA: Antisipasi Dampak Pelambatan Ekonomi 2020
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam