jpnn.com, JAKARTA - Ekonom senior Dradjad Wibowo menyoroti kebijakan relaksasi impor yang diambil pemerintah untuk mengatasi penumpukan kontainer di pelabuhan.
Dia menilai relaksasi impor merupakan kebijakan dilematis.
BACA JUGA: Update Kontainer Tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok dan Perak, Alhamdulillah
Sebab, kebijakan tersebut membuat sebagian pelaku usaha industri di dalam negeri kesulitan untuk bersaing hingga purchasing manager's index (PMI) manufaktur masuk zona kontraksi atau anjlok.
Namun di sisi lainnya, kata Dradjat, menyalahkan pemerintah dalam menerapkan kebijakan tersebut juga tidak menyelesaikan masalah.
BACA JUGA: Pelaku Usaha Kesulitan Bahan Baku Akibat Kontainer Tertahan
Pasalnya, tanpa kebijakan relaksasi impor mengakibatkan keberadaan kontainer di pelabuhan makin menumpuk.
"Ini masalah yang dilematis. Tanpa relaksasi impor, kontainer akan menumpuk di gudang pelabuhan, lalu lintas barang tersendat, inflasi naik. Rakyat sebagai konsumen dirugikan," kata Drajad Wibowo dalam keterangannya yang dikutip, Senin (5/8).
BACA JUGA: Ribuan Kontainer Tertahan di Pelabuhan Akhirnya Dilepas, Begini Penjelasan Kemendag
Menurut Dradjat, pemerintah seharusnya bersama-sama mendesain kebijakan sehingga antara pengembangan industri dalam negeri, perdagangan luar negeri, serta kepabeanan dan cukai dapat sejalan dan optimal.
Drajat mencontohkan terkait regulasi impor, penting sejalan dengan konsumen dan produsen domestik sekaligus.
“Saya kira bea masuk antidumping bisa dilakukan untuk komoditi dengan kode HS tertentu. Apakah ada solusi teknis terhadap backlog di pelabuhan. Apakah solusi agar industri domestik lebih bersaing dan tidak hanya mengharapkan proteksi berlebihan,” terang ekonom senior INDEF itu.
Drajad berpendapat membongkar ekonomi biaya tinggi dalam proses industri akan lebih besar manfaatnya dalam jangka menengah dan panjang ketimbang buka tutup relaksasi dan restriksi impor.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyampaikan kontraksi purchasing manager's index (PMI) terjadi karena dipengaruhi penurunan bersamaan pada output dan pesanan baru.
Menurutnya, kontraksi baru pertama kali terjadi sejak Agustus 2021 atau setelah 34 bulan berturut-turut terus ekspansi.
Penyebab utamanya permintaan pasar yang menurun.
Laporan terbaru S&P Global memperlihatkan PMI manufaktur Indonesia pada Juli 2024 turun ke level 49,3 atau terkontraksi dibandingkan Juni 2024 sebesar 50,7.
Posisi ini menunjukkan kontraksi pertama kalinya sejak Agustus 2021 atau setelah 34 bulan berturut-turut ekspansi.
Menperin Agus mengaku tidak kaget dengan turunnya PMI manufaktur Indonesia sejak kebijakan relaksasi impor diberlakukan.
"Kami tidak kaget dan logis saja melihat hasil survei ini, karena ini semua sudah terprediksi ketika kebijakan relaksasi impor dikeluarkan," kata Menperin Agus Gumiwang.
Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah sedang mempersiapkan sejumlah langkah untuk mengantisipasi anjloknya PMI manufaktur.
Dia menyebit Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) untuk menyokong kinerja dunia usaha.
“Kami rumuskan kebijakan supaya pelemahannya tidak lama dan bisa kembali. Kami harapkan environment global membaik. Ini yang akan kita terus usahakan sehingga PDB (produk domestik bruto) kita pada kuartal dua sampai akhir tahun tetap terjaga momentumnya,” kata Menkeu Sri Mulyani.
Dia menyampaikan itu dalam konferensi pers hasil rapat berkala Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) III 2024 di kantor Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Jakarta, Jumat (2/8).
Menkeu Sri menyampaikan pemerintah akan melakukan langkah korektif apabila penurunan PMI manufaktur karena persaingan perdagangan tidak sehat atau unfair trade practice.
Pemerintah menggunakan instrumen fiskal untuk mendorong sektor manufaktur terutama yang menjadi salah satu sektor penting untuk meningkatkan daya tahan eksternal.
Menkeu Sri Mulyani mengungkapkan pemerintah selama ini memberikan insentif fiskal untuk sektor-sektor yang memberikan daya dorong besar ke perekonomian, termasuk industri manufaktur.
“Kita melihat lebih detail untuk manufaktur, tidak membuat dalam satu keluarga homogen. Kita akan melihat dari sisi industri ke industri, khususnya yang menyerap tenaga kerja, seperti tekstil dan garmen,” pungkas Menkeu Sri Mulyani. (mrk/jpnn)
Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Sutresno Wahyudi, Sutresno Wahyudi