jpnn.com, JAKARTA - Berbagai penolakan terhadap draf Peraturan Presiden (Perpres) soal pelibatan TNI dalam memberantas terorisme terus muncul.
Kali ini dari peneliti HAM dan Sektor Keamanan Setara Institute, Ikhsan Yosarie. Ikhsan mengatakan, setidaknya dua persoalan mencerminkan latar belakang penolakan tersebut.
BACA JUGA: TNI Seharusnya hanya Bertugas Membantu Penanganan Kasus Terorisme
Pertama karena ketiadaan pengaturan keputusan dan kebijakan politik negara serta kerangka criminal justice system dalam draf perpres tersebut.
Ketiadaan pengaturan kebijakan dan keputusan politik negara tersebut, menurutnya, tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI (UU TNI) yang mengatur bahwa pelibatan TNI dalam Operasi Militer Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.
BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Apa Kabar Perpres Gaji PPPK? Sanksi untuk yang Nekat Berangkat Haji
Secara umum bahkan pada Pasal 5 disebutkan bahwa TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.
Sementara ketiadaan pengaturan kerangka criminal justice system tersebut tentu makin menjauhkan TNI dari semangat reformasi militer.
BACA JUGA: Tak Kasih Ampun, Satgas Tinombala Buru Pelaku Penembakan Dua Warga Sipil Poso
Terutama yang berkaitan dengan upaya revisi UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
“Draf perpres yang memberikan kewenangan TNI dalam penanganan terorisme menjauhkan TNI dari semangat reformasi,” ujar Ikhsan kepada wartawan, Kamis (4/6).
Ikhsan juga menyoroti soal masalah peradilan militer yang sejak era reformasi belum diselesaikan hingga sekarang.
“Peradilan militer menjadi persoalan yang tidak kunjung tuntas dalam dua dekade reformasi. Kegagalan revisi sistem peradilan militer menjadi penanda rendahnya akuntabilitas atas pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan aparat militer masih menjadi masalah besar,” beber dia.
Pengaturan semacamnya lanjut Ikhsan, juga sudah diatur pada Pasal 3 ayat (4) huruf a TAP MPR No.VII tahun 2000 tentang peran TNI dan peran Polri yang mengamanatkan prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer.
Kemudian tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum, seharusnya dapat dilaksanakan.
“Dua persoalan di atas pada dasarnya juga menjadi bagian dari definisi Tentara Profesional yang diatur pada Pasal 2 huruf d UU TNI, yakni mengikuti kebijakan politik negara yang menganut, prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, dan ketentuan hukum nasional,” tegasnya.
“Sehingga, dalam konstruksi kerangka penolakan itu, tentu menjadi pertanyaan, bagian mana yang mencerminkan sesuatu yang berlebihan dan penggunaan kacamata hukum dan HAM yang sempit?” sambung Ikhsan.
Ikhsan juga menuturkan, dalam diskursus pro-kontra draf perpres, satu hal yang ditakutkan adalah ketika terjadi perbedaan konteks pembahasan.
Dia lantas menekankan, penolakan yang dilakukan sejumlah aktivis berada pada konteks pengaturan pelibatan TNI dalam draf perpres.
Sementara pihak lain yang setuju atas draf perpres tersebut menggambarkan konteks pelibatan TNI.
Aspek pengaturan tersebut memberikan perbedaan yang mendasar dalam perspektif pro-kontra diskursus ini.
“Perbedaan konteks ini berimplikasi kepada diskursus yang bertolak belakang. Mereka yang berbicara pengaturan pelibatan TNI akan mengacu pada aturan-aturan yang sudah ada sebelumnya sehingga jika TNI dilibatkan, maka pelibatan harus memiliki aturan main yang jelas dan konstitusional. Sementara mereka yang berbicara pelibatan TNI, cenderung mengarahkan pembahasan kepada hal-hal yang konseptual, seperti dinamika ancaman,” terang dia. (cuy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan