jpnn.com, JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan kembali menggelar diskusi menyoroti draf Revisi UU TNI yang disusun pemerintah.
Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf dalam diskusi itu menyampaikan pada hakikatnya tentara tidak boleh berpolitik, karena akan mendorong meningkatnya tindakan represif seperti yang terjadi di Myanmar dan Thailand.
BACA JUGA: Tolak Revisi UU TNI, Imparsial Ungkap Pasal Krusial Ini
Dia menilai kelompok yang memprotes kebijakan negara atau pemerintah akan mendapat tindakan represif dari aparat. Atau bahkan seperti yang terjadi di Thailand di mana pimpinan pemerintahan sipil yang sah dikudeta oleh militer.
Menurut Al Araf, proses demokratisasi di Indonesia yang terjadi pada 1998 menuntut militer keluar dari politik. Namun, belakangan ini muncul draf RUU TNI yang membuka ruang TNI kembali ke ranah urusan pemerintahan sipil.
BACA JUGA: Urusan Mangrove pun Pakai Utang Luar Negeri, Masinton Sentil DJPPR Kemenkeu, Jleb
"Artinya, hal ini akan membuka kotak pandora Indonesia kembali kepada iklim yang buruk yaitu otoritarianisme," ujar dia dalam diskusi bertajuk "Involusi Sektor Pertahanan; Problem RUU TNI, Komando Teritorial, Peradilan Militer, dan Tugas Non-Militer", sebagaimana siaran pers, Jumat (16/6).
Peneliti senior Imparsial itu menilai diperluasnya nomenklatur "pertahanan dan keamanan" dalam draft RUU TNI, pada akhirnya nanti atas nama keamanan dan pertahanan, TNI bisa mengamankan siapa pun.
BACA JUGA: Novel Baswedan Bergerak di Daerah Ini, Pelaku Korupsi Siap-Siap Saja
"Berbagai tindakan represif seperti penangkapan sewenang-wenang, penculikan itu bisa terjadi lagi. Perlu diingat, bahwa militer sejatinya bukan bagian dari criminal justice system, jadi hal ini harus ditolak," tuturnya.
Kemudian, nomenklatur "pertahanan dan keamanan" dalam draft RUU TNI bisa diartikan bahwa institusi militer akan dapat mengamankan mahasiswa, buruh yang demonstrasi, dan tindakan lainnya atas nama keamanan negara.
"Pasal-pasal tentang penambahan fungsi militer akan memberikan involusi atau kemunduran bagi demokrasi Indonesia dan TNI itu sendiri," ujarnya.
Al Araf menegaskan bahwa militer tidak boleh melakukan operasi tanpa keputusan presiden. Namun, dalam draft RUU TNI, tentara dibolehkan mengambil tindakan tanpa keputusan presiden.
"Artinya sama saja draf RUU TNI memberikan ruang kepada militer untuk melakukan kudeta," sebut Al Araf.
Sementara itu, Direktur Elsam Wahyudi Djafar menyampaikan kekaryaan militer dimaknai secara tidak tepat. Konsep tentang keamanan komprehensif direspons dengan militerisasi di mana seharusnya keamanan semesta tidak semata-mata mengandalkan militer.
"Ruang diskusi antara militer dan DPR belakangan ini juga tidak terjadi dengan baik. DPR gagal melakukan sejumlah agenda reformasi sektor keamanan, di antaranya adalah revisi UU No. 31 tahun 1997 terkait peradilan militer," ucapnya.
Dia menyebut bahwa agenda reformasi peradilan militer dituliskan secara eksplisit dalam Nawacita I Presiden Jokowi pada tahun 2014. Hal itu mengundang pertanyaan mengapa janji politik Jokowi tidak pernah serius dibahas di DPR.
"Gagalnya DPR dan pemerintah dalam mereformasi peradilan militer juga menimbulkan berbagai persoalan turunan. Padahal, revisi UU peradilan militer tersebut merupakan mandat dari UU TNI," tuturnya.
Selain itu, dia menyebut ketiadaan hukum acara tata usaha militer membuat pelanggaran terhadap tata usaha militer tak dapat diproses karena tidak ada hukum acara yang mengatur.
"Reformasi peradilan militer saat ini bersifat mendesak, karena banyak problem yang saat ini sudah timbul akibat gagalnya mereformasi sistem tersebut," ujar Wahyudi.
Dia juga memandang draf evisi UU TNI yang beredar saat ini secara umum akan semakin memundurkan demokrasi Indonesia, bahkan menjadi demokrasi kosong (illiberal democracy).
"Revisi terhadap UU No. 31/1997 tentang peradilan militer dapat dilakukan melalui inisiatif DPR seperti dulu, hal ini ditujukan untuk memperkuat kontrol sipil terhadap militer," kata Wahyudi.(fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam