Draf RUU Pilkada Anulir Kewenangan MK

MK Tuding Berbau Politis

Minggu, 20 Maret 2011 – 09:08 WIB

JAKARTA - RUU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) belum diajukan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kepada DPRNamun, draf terakhir RUU Pilkada yang diterima Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) menyebutkan terdapat ketentuan pasal yang menyimpang dari aturan konstitusi

BACA JUGA: Kepala Daerah Lapor ke Megawati



Kemendagri dalam draf RUU Pilkada menyebut perselisihan hasil di pilkada bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana aturan sengketa pemilihan umum
"Draf RUU Pilkada ini telah menganulir kewenangan MK," kata Veri Junaidi, peneliti Perludem, dalam keterangan pers di Bakoel Koffie, Jakarta, kemarin (19/3).

Dalam draf yang disusun Kemendagri versi Februari 2011, penyelesaian sengketa hasil pilkada tidak lagi mencantumkan MK

BACA JUGA: Sebelum Menggugat di MK, Calon Berkaca Dulu

Kemendagri menyebut posisi pengadilan tinggi (PT) sebagai lembaga yang berwenang memutus perselisihan hasil dalam pilkada
Hal itu tercantum dalam ketentuan pasal 130 ayat 1 RUU Pilkada.

Menurut Veri, dari sisi konstitusionalitas, pasal 24c ayat 1 menegaskan bahwa MK sebagai lembaga yang sah untuk memutuskan sengketa hasil pemilu

BACA JUGA: BK Segera Tentukan Nasib Petinggi PKS

Ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah menyebut pilkada merupakan ranah pemilu"Sepanjang pilkada masih merupakan pemilu, perselisihan hasil seharusnya diputuskan di MK," ujarnya mengingatkan.

Jika latar belakang perumusan itu akibat kekurangan dan ketidakpuasan terhadap sengketa pemilu di MK, seharusnya tidak bisa dilihat dari lembaga yang memutus sajaPara pihak yang beperkara di MK seharusnya bisa mempertimbangkan kelayakan dan potensi permohonannyaSimak saja catatan "kesuksesan" gugatan pilkada yang dikabulkan MKDari sekitar 230 permohonan sengketa yang masuk di MK, hanya 26 gugatan yang dikabulkan MK"Hanya sekitar 10 persen yang dikabulkan MK," jelas Veri.

Di tempat yang sama, pakar hukum pemilu Universitas Indonesia Topo Santoso menilai, potensi untuk kembali menyerahkan sengketa pemilu kepada pengadilan tinggi, tampaknya, adalah wujud ketidakpuasan proses di MKMinimnya jumlah sengketa yang dikabulkan disebabkan pemohon tidak memiliki argumen kuat untuk membuktikan gugatannya

"Pihak yang sudah mengorbankan uang tentang kepastian demokrasi, karena terus memaksakan diriMungkin karena tidak mau kehilangan muka di depan pendukungnya," kata Topo.

Dari hasil di MK, banyak kasus yang masuk tapi dasarnya lemahBisa jadi, penggugat selama ini hanya "mengakali" gugatan yang masuk di MKSebisa mungkin, gugatan lolos untuk dilakukan persidangan di MK, namun pemohon tidak mampu membuktikan sengketa hasil yang diajukan"Seolah-olah pelanggaran masif, padahal saksi-saksi yang diundang menafikan gugatan," sebut Topo.

Justru, kata Topo, harus ada terobosan yang dilakukan MKIni untuk meminimalkan gugatan pilkada yang masuk di MKMK harus lebih ketat dengan mewajibkan pemohon menyampaikan bukti-bukti yang diajukan"Ini supaya lebih detail, sehingga yang tidak serius bisa gugur sejak awal," ujarnyaMK, lanjut Topo, bisa mengatur hal itu tanpa mengubah ketentuan UU.

Menanggapi itu, Ketua MK Mahfud M.Dmempersilakan jika sidang sengketa pilkada dipindah ke PTAwalnya, kata dia, MK memang tidak memiliki kewenangan itu"Mungkin saja maksudnya biar orang-orang di daerah tidak harus jauh-jauh beperkara di Jakarta," katanya.

Hakim konstitusi Akil Mochtar menuding alasan memangkas kewenangan MK berbau politisSebab, tidak ada alasan substansial yang menjadi dasar kuat dialihkannya kewenangan MK ke PT"Ini kan hanya karena selera politik merekaHanya untuk merebut kekuasaan," katanya.

Akil mempersilakan jika pemerintah benar-benar hendak menganulir kewenangan tersebut meski dia ragu bahwa hal itu akan efektifJustru dengan sidang digelar di daerah, potensi kericuhan lebih tinggiSelain itu, independensi hakim dipertanyakan"Semoga jadi lebih baiklahSilakan saja diubahKita lihat saja hasilnya," katanya.

Di bagian lain, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS Agus Purnomo menilai, jika memang ketentuan RUU Pilkada oleh Kemendagri mengubah posisi sengketa hasil, harus diperdebatkan kembali rezim pilkada saat iniMenurut dia, rezim pemda yang diatur UU 32/2004 mengatur sengketa hasil dilakukan pengadilan tinggiSementara, pasca keluar revisi di UU 12/2008, pilkada masuk di rezim pemilu"Kita belum bilang menolak atau setuju, harus melihat substansinya," ujarnya.

Berkaca pada pengalaman, sengketa hasil yang diselesaikan di pengadilan tinggi sempat bermasalahDalam sengketa pilkada Depok, Komisi Yudisial menegaskan ada permainan hakim dalam putusannyaNamun, karena sifatnya sudah mengikat, Pilkada Depok pada 2005 akhirnya tetap memenangkan Nur Mahmudi Ismail sebagai wali kota"Saat itu, akhirnya hakim yang kena sanksi," kata Agus.

Sebagai catatan, hakim di pengadilan tinggi lebih rentan melakukan penyimpanganIni karena posisi mereka yang dekat dengan lokasi pilkadaSementara hakim MK relatif lebih netral karena berada di pusat ibu kota negara"Sidang di MK itu menghindari kolaborasi hakim dengan penguasa," tandasnya.  (bay/aga/c2/agm)

BACA ARTIKEL LAINNYA... SBY Wajib Pimpin Rapat Setgab Tiga Bulan Sekali


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler