jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara) Agung Yudha menganggapi permintaan para driver ojek online (Ojol) terkait Bantuan Hari Raya (BHR) ke perusahaan platform digital (aplikator).
Agung mengaku memahami semangat gotong royong dalam mendukung mitra ojol untuk mendapatkan bantuan di hari raya.
BACA JUGA: WNA China Diperkosa Oknum Driver Ojol di Bali, Kejadiannya Begini
Namun, jika kebijakan yang diatur tidak berimbang maka berpotensi menimbulkan dampak ekonomi serius bagi industri berkembang yang memiliki ekosistem bisnis yang unik, dibandingkan sektor konvensional.
"Dalam praktiknya, pelaku industri on-demand masih menghadapi berbagai tantangan dalam mengusahakan pertumbuhan bisnis yang berkelanjutan," kata Agung Yudha dalam siaran persnya, Selasa (25/2).
BACA JUGA: Pakai Motor Listrik, Driver Ojol Lebih Hemat dan Ramah Lingkungan
Menurut dia, saat ini sektor aplikator telah memberikan akses bagi jutaan individu untuk memperoleh penghasilan alternatif dengan fleksibilitas tinggi, sebuah karakteristik utama yang menjadi daya tarik industri tersebut.
Berdasarkan data ITB pada 2023, model kerja fleksibel itu bahkan telah berkontribusi pada 2% dari PDB Indonesia pada 2022.
BACA JUGA: Relawan Mas Gibran Berbagi Makanan Bergizi hingga Sembako untuk Driver Ojol
Oleh karena itu, penting untuk memastikan setiap kebijakan yang diterbitkan tidak justru menghambat pertumbuhan atau bahkan membatasi manfaat yang diberikan kepada para mitra.
Selain itu, berdasarkan survei angkatan kerja nasional (Sakernas) BPS, Indonesia memiliki 84,2 juta pekerja informal, dengan 41,6 juta seperti sebagai pekerja gig.
Dari jumlah tersebut, sekitar 1,8 juta atau 4,6% bekerja di layanan ride-hailing seperti ojek dan taksi online.
Artinya, regulasi yang kurang tepat pasti dapat berdampak pada jutaan individu yang menggantungkan hidupnya pada industri itu.
Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies, Yose Rizal Damuri menegaskan perusahaan platform (aplikator) bukan berkedudukan sebagai pemberi kerja, tetapi hanya memfasilitasi pertemuan antara yang membutuhkan jasa dan yang menyediakan jasa.
"Namun ini terdapat persepsi yang keliru bahwa perusahaan platform menyediakan lapangan pekerjaan, sehingga secara tidak langsung menimbulkan citra seolah-olah mereka adalah pemberi kerja," kata Yose.
Hal senada juga disampaikan Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin.
Dia menyebut kebijakan yang berkaitan dengan industri platform digital seharusnya tidak dilihat sebagai regulasi terhadap bisnis tersendiri, melainkan sebagai bagian dari ekosistem yang mendukung sektor lain, termasuk UMKM, pedagang pasar, warung kelontong, serta industri skala rumah tangga.
"Setiap kebijakan harus mempertimbangkan kepentingan utama para pemangku kepentingan—perusahaan aplikator, Mitra, konsumen, dan bisnis lain yang bergantung pada layanan platform digital. Jika tidak, regulasi ini berpotensi menghambat pertumbuhan digitalisasi nasional," ujarnya.
Begitu juga dengan wacana untuk menjadikan pekerja ekonomi informal (gig worker) menjadi karyawan tetap.
Tentunya, diperlukan pendekatan yang lebih inklusif dan berimbang dalam penyusunan kebijakan terkait pekerja platform digital. (ddy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Penganiayaan Driver Ojol dan Penumpang di Bandung, Nih Tampang Pelakunya
Redaktur & Reporter : Dedi Sofian