Dua Anaknya Dinamai Seperti Nama Pesawat

Rabu, 22 Oktober 2008 – 10:53 WIB
Ratu Farihah di depan pesawat latih yang dipakai untuk training.

Ada perasaaan aneh yang dialami oleh seseorang setelah merasakan terbangBahkan ketika tidak bisa terbang, ada perasaan berdesir setiap kali melihat orang yang terbang

BACA JUGA: Terbang setelah Delapan Tahun Gantung Ijazah di Kamar

Apa pasal?

IWAN UNGSI- IMAM S., Jakarta

RATU Farihah mendapat julukan yang hebat: instruktur pilot wanita pertama di Indonesia
Namun, di balik itu, dia juga ibu rumah tangga biasa

BACA JUGA: Istri Kedua 12 Tahun, Langsung Ditunjuk Jadi GM

Karena itu, saat Juanda Flying School (JFS), sekolah tempatnya mengajar yang berbasis di Bandara Juanda, Surabaya, tutup sebagai dampak krisis moneter pada akhir 1990-an, dia tetap berupaya cari penghasilan bagi keluarga.
Sebetulnya dia bisa pindah mengajar ke sekolah pilot yang ada di Jakarta
Namun, saat itu kedua anaknya masih kecil yang butuh perhatian darinya

BACA JUGA: Kisah Mahasiswa Transfer Palsu Fakultas Kedokteran Undip

Dia lalu  memilih wiraswastaMulai dari jual beli berbagai barang kebutuhan, usaha katering, hingga menjadi konsultan perusahaan telekomunikasi pembuat tower milik kerabat.
”Saya orangnya tidak bisa diamPasti ada saja yang saya kerjakan untuk mengisi waktu luang saya,” kata wanita kelahiran Jember, 10 April 1964.
Tatu, demikian dia dipanggil, mengakui sekitar delapan tahun menjadi ”gelandangan” pilot itu adalah saat yang beratTerutama setiap kali melihat pilot Angkatan Laut yang bermarkas di dekat rumahnya di Surabaya terbang dengan pesawat latih jenis SkyhawkSebab, pesawat iyu  mirip dengan TB-9 Tampico, pesawat latih terbang di JFS yang biasa digunakannya.
”Saat melihatnya hati saya selalu berdesir,” kata alumnus JFS 1990 tentang panggilan untuk kembali terbang ituDi JFS, Tatu satu angkatan dengan mendiang Captain Fierda Panggabean, pilot Merpati yang meninggal bersama 30 orang kru-penumpang pada kecelakaan di kawasan Pegunungan Papandayan, Jabar, 18 Oktober 1992
Banyak kalangan yang menuding kecelakaan yang dialami Fierda Panggabean itu ”menyusutkan” jumlah populasi pilot wanita di IndonesiaNamun, Tatu tidak menghiraukannya”Saya tidak pernah berhenti bermimpi untuk kembali terbang,” katanya.
Kecintaan Tatu terhadap aktivitas penerbangan membuat dua anaknya menjadi “korban”Sang buah hati itu memiliki nama yang berbau pesawat terbang yang jadi idola Tatu“Bapaknya nggak boleh protes,” candanya
Anaknya yang pertama bernama Radhian Aztecco, 22, yang diambil dari nama pesawat AztecSedangkan yang kedua, Dhivracca Cheyenne, 21, diambil dari pesawat Cheyenne yang kecil tapi lincah“Keluarga saya sangat mendukung aktivitas sayaMereka (anak-anak) juga bangga,” katanya.
Beda dengan teman-temannya yang setelah lulus jadi pilot komersial, Tatu memang memilih jadi instrukturDia mengaku puas mengajar dan bisa menelurkan para pilotNamun, krisis finansial 1997-1998 meluluhlantakkan semuanyaTak terkecuali JFS yang dimiliki almarhum Yunus iniSebab,  sekolah ini memang berbasis dolarSaat dolar melonjak, banyak siswa yang tak mampu lagi membiayai sekolahnya.
Tatu bersyukur pernah mendapat didikan ”semi” militer selama belajar di JFSLain dengan sekolah penerbangan saat ini yang metodenya seperti kuliah.  Sikap fight  inilah yang dia tekankan dalam mendidik anak-anak di keluarga, sehingga bisa bertahan saat menghadapi masa sulit.  
Setelah sekitar delapan tahun vakum tidak lagi menjadi instruktur penerbangan, dia mendapat tawaran dari Alfa Flying School yang berbasis di lapangan Halim Perdana Kusuma, JakartaBooming industri penerbangan di tanah air membuat akan kebutuhan pilot meningkatTermasuk menghidupkan lagi sekolah-sekolah calon penerbang.
Sejak 2007 lalu dia kembali menekuni aktivitas sebagai instruktur pilotPada awalnya memang tak mudahNamun, seperti naik sepeda, kemampuan menjadi pilot ternyata tidak pernah hilang.  “Saya seperti mimpi saat tahu bisa kembali terbangSaya kemudian belajar-belajar lagi, mengingat-ingatDi satu titik, kemudian semuanya kembali terbuka buat saya,” paparnya.
Menjalani aktivitas yang sudah lama ditinggalkannya dia mendapat banyak nasihat dari banyak kolega“Istilah mereka ini adalah dunia mayaSaya diminta hati-hati agar tidak tergiur dengan hal-hal yang bersifat material,” imbuhnya.
Saat ini, sehari-hari Tatu menerbangkan pesawat Cessna 172 (standar training) dalam menjalankan aktivitasnya sebagai instrukturDalam seminggu, dia bisa beberapa kali terbang ke Cirebon, Jawa BaratNamun, latih terbang itu sebagian besar dilakukan di sekitar areal penerbangan yang dimiliki Alfa Flying School di Bogor.
Meski tidak mendapat bayaran sebesar pilot pesawat komersial, Tatu mengaku mendapat kepuasan saat mengetahui anak didiknya berhasil“Ada (murid) yang sudah bar empat dan jadi kapten,” lanjut Tatu.
Pemabawaannya yang tegas dan disiplin terbawa saat mengajarTidak jarang Tatu menghukum para calon penerbang dengan push up atau hukuman disiplin lainnya“Kalau hidup mereka disiplin terbang juga disiplinIni yang jadi tujuan saya menghukum mereka,” jelas Tatu.
Dia mencontohkan muridnya yang lupa melakukan instruksi gear down (mengeluarkan roda pesawat saat mau mendarat)  bakal dihukum membuat tulisan ’Saya tidak akan lupa melakukan gear down’ sampai 200 kali“Ini memang hanya simulasiTapi, dampaknya bisa fatal kalau terjadi (saat membawa pesawat) beneran,” katanya.
Terkait dengan maraknya kecelakaan pesawat yang terjadi, Tatu mengajak masyarakat melihat masalah tersebut dengan lebih jernihSebab, tidak semua kecelakaan yang terjadi mutlak akibat kesalahan sumber daya manusia.
“Pada saat kejadian itu terjadi, keputusan yang diambil (pilot) itu sudah yang terbaikMasak iya ada orang (pilot) ingin bunuh diriTapi, jika kemudian setelah diteliti ada pilihan yang lebih baik lagi, itu masalah yang lain lagi,” katanya.  (el)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Aktivitas Pialang Saham saat Tak Ada Transaksi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler