Fasilitas pendidikan di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, masih jauh dari layakMurid-murid yang ingin melanjutkan ke SMP harus rela berpisah dengan keluarganya karena menyeberang ke pulau lain
BACA JUGA: JI Wariskan Kemampuan Rakit Senjata
Berikut laporan wartawan Jawa Pos Tri Mujoko Bayuaji yang baru pulang dari sanaWajah Lia tampak serius
BACA JUGA: Ada Kamp yang Didirikan Dulamatin
Siswi kelas VIII SMPN I Sipora itu sedang mendengarkan pelajaranBACA JUGA: Banyak Orang Indonesia Jadi Instruktur
Di kelas Lia ada 40 muridButuh perjuangan tersendiri untuk bersekolah di MentawaiLia adalah salah seorang di antara ratusan anak di Kabupaten Kepulauan Mentawai yang memiliki semangat tinggi untuk bersekolah
Tak banyak gedung sekolah di MentawaiSekolah-sekolah itu tersebar di beberapa daerah seperti Siuban, Tuapejat, Siberut, dan Sikakap
Sebagian siswa (termasuk Lia) berasal dari kampung terpencil atau bahkan dari pulau-pulau terpencil di MentawaiMulai Pulau Matuptuman, Sua, Beriulau, Katiet, hingga Togari.
Untuk mencapai sekolah, bukan hal yang mudah bagi siswa-siswa ituMereka harus menempuh perjalanan jauhBeruntung buat mereka yang sudah memiliki kendaraan bermotorMereka yang berjalan kaki membutuh waktu berjam-jam untuk sampai ke sekolah"Rumah saya dua jam jalan kaki dari sekolah," ujar Lia.
Kepala Sekolah SMPN I Sipora Arsenius mengatakan, di luar anak-anak yang tinggal di dekat sekolah, sekitar 30 persen siswa di sekolahnya adalah anak pondokanMereka berasal dari pulau-pulau di luar sekolahSMPN I Sipora yang berada di Desa Siuban, Kecamatan Sipora, dikelilingi sejumlah pulau yang juga ditinggali penduduk Mentawai"Mereka sekolah di sini, sekaligus juga tinggal di sekitar sekolah," kata Arsenius.
Disebut anak pondokan karena mereka memang tinggal di pondok sekitar sekolahSaat awal mereka bersekolah, orang tua mendaftarkan merekaNamun, tidak cukup di situ, orang tua juga harus mencarikan pondokan bagi anak-anaknya"Selain mendaftar sekolah, orang tua siswa juga sibuk mencari pondokan," ujarnya.
Pondokan itu biasanya menumpang di tanah seorang keluarga yang berada di dekat sekolahPara orang tua terlebih dahulu meminta izin kepada pemilik tanah untuk mendirikan pondokanPemilik tanah yang nanti mencarikan lokasi untuk dibangun pondokan"Biasanya langsung diizinkanJarang ada yang menolak," katanya.
Jangan membayangkan pondokan itu layaknya tempat kos mahasiswa atau karyawanBangunan itu darurat dan hanya berbentuk gubuk sederhanaBiasanya terbuat dari kayuBangunannya pun jauh dari idealHanya berbentuk persegi dengan ukuran sekitar 5 meter x 4 meterLantainya pun dari tanah"Setelah mendapatkan izin, yang membangun juga orang tua masing-masing," terangnya
Kondisi di dalam pondok juga jauh dari standar kesehatanLembab akibat tanah yang basahDindingnya tak terawat, penuh coretan di sana siniPondok kecil itu biasanya hanya dibagi dua ruanganSatu untuk ruang tamu dan satu lagi ruang tidur"Memang jauh dari idealNamun, itulah yang bisa diusahakan para orang tua," kata Arsenius.
Lantas, bagaimana para siswa itu hidup" Menurut Arsenius, meski baru menginjak SMP, anak pondokan harus belajar dewasaSetiap beberapa pekan orang tua mereka mengirimkan bahan makananBahan makanan itu rata-rata adalah kebutuhan pokok di MentawaiMisalnya, keladi, pisang, dan beras"Paling cepat seminggu sekali diantarAnak-anak nanti tinggal ambil ke pelabuhan," tuturnya.
Namun, ada juga anak yang terlambat mendapatkan kiriman bahan makananRata-rata mereka adalah anak dari pulau yang jauhTerkadang, hambatan para orang tua mengirimkan bahan makanan adalah ombak besar yang berlangsung tanpa hentiMereka takut menyeberang karena tak memiliki kapal yang memadai.
Arsenius menuturkan, jika sudah seperti itu, rata-rata anak-anak memilih untuk bekerjaMereka bekerja apa sajaMisalnya, membantu warga melaut atau membantu orang-orang mengangkat barang di pelabuhan"Jika beruntung, mereka mendapatkan bantuan sejumlah makanan dari pemilik tanah tempat pondokan," ujarnya.
Risiko menjadi anak pondokan tidak cukup di situ sajaMenurut Arsenius, suasana belajar menjadi sangat terbatasMemasuki malam, pondokan mereka gelap gulitaSemua pondokan tidak dialiri satu watt pun listrikItulah sebabnya, anak-anak pondokan harus memiliki inisiatif jika ingin sungguh-sungguh belajar"Kalau yang niat belajar, mereka membeli lampu tempel buat penerangan atau menumpang di teman yang punya rumahSetiap rumah sudah ada listrik," tuturnya.
Rata-rata yang memiliki pondokan adalah siswa yang sudah menginjak SMP dan SMAMereka yang masih duduk di bangku SD biasanya dititipkan di sekolah masing-masingSeperti halnya di sebuah SD di SikakapSD itu menyediakan ruang bekas kepala sekolah sebagai tempat tinggal anak-anak pondokan dari SDSama dengan yang senior, mereka yang masih belia itu juga harus belajar mandiri.
SMPN Sipora berada di Desa Siuban, Kecamatan Sipora, Kabupaten Kepulauan MentawaiSekolah itu adalah satu di antara sedikit SMP yang berdiri di MentawaiBangunannya boleh dibilang tidak layakEmpat ruang kelas tidak beroperasi karena rusakTembok-temboknya retak, atapnya pun seperti mau runtuh.
Mentawai memang kerap dilanda gempaHal itulah yang menyebabkan fasilitas sekolah di sana kerap terbengkalai pascagempaSaat Jawa Pos mengunjungi Sipora, empat kelas yang terbengkalai itu hanya dibiarkan teronggok, tak terawat"Menunggu bantuan untuk renovasi," kata Arsenius.
Fasilitas sekolah di Mentawai juga minimSMPN I Sipora adalah potret kurangnya Bantuan Operasional Sekolah (BOS)Beberapa meja dan bangku yang digunakan di kelas adalah pinjamanMisalnya, pinjaman dari SMAN 2 Sipora"Meminjam seadanyaRusak sedikit, asal masih bisa diperbaiki, tetap dipinjam," ujar Arsenius.
Namun, meski tidak mudah bersekolah di Mentawai, Arsenius salut dengan semangat siswa siswanyaWalau harus menyeberang jauh, anak-anak rela belajar mandiriAnimo anak-anak Mentawai untuk bersekolah pun terus bertambah setiap tahun"Tidak peduli sekolahnya rusak, di sini tetap bisa sekolahYang penting niat," katanya, membanggakan siswa didiknya(kum)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Wawancara sambil Diawasi 10 Orang Bersenjata
Redaktur : Tim Redaksi